Berpikir adalah cara khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Adapun cara berfikir seorang muslim, Allah swt berfirman : "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari azab neraka. (QS. Ali ‘Imran [3]: 191).
Allah swt berfirman : “ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. Al-Baqarah [2]:30). Amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada manusia (Adam) pun adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia itu. Sebab, dengan kemampuan berpikir, manusia akan dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara malaikat, Adam, dan Allah SWT memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa pemuliaan itu berpangkal pada kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu. Mari kita simak ayat-ayat berikut : "Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) itu seluruhnya, kemudian Allah mengajukannya kepada para malaikat sambil berkata, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang benar.' Mereka menjawab, 'Maha Suci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.' Allah berfirman, 'Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.' Maka setelah diberitahukannya, Allah berfirman, 'Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan yang kamu sembunyikan'." (Al-Baqarah [2] : 31-33).
Karena kemampuan berpikir itu pulalah manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah SWT, seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an (yang artinya), "Dan sungguh telah Kami muliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka didarat dan dilaut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna." (Al-Israa' [17] : 70). Penghargaan Allah kepada manusia demikian besarnya, sampai ke tingkat memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam. Bahkan, yang menolak perintah sujud itu dicap sebagai kafir. Adakah pemuliaan yang melebihi penghargaan yang luar biasa itu?
Berikut kita bahas mengenai berfikir menurut beberapa ahli. Berpikir adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar (Prof. Dr. Hasriadi M. Akin). Berpikir adalah memanipulasi data, fakta dan informasi untuk membuat keputusan berperilaku. Jangkauan pikiran dimulai dari lamunan biasa, selanjutnya pemecahan masalah yang kreatif. Aktivitas mental dalam perasaan dan pemahaman bergantung pada peransangan dari luar dalam proses yang disebut sensasi dan atensi. Proses mental yang lebih tinggi yang disebut berpikir terjadi di dalam otak. Mengingat kembali mengundang pengalaman terdahulu ke alam pikiran dan mulai membentuk rantai asosiasi. Rantai asosiasi tidak merujuk pada apa yang secara nyata kita lihat tetapi sebagai khayalan-khayalan mental (www.khusnuridlo.com).
Berpikir adalah kegiatan penalaran mengekpresikan pengalaman dengan maksud tertentu (de Bono, 1982). Menurut Prof. Dr. Hasriadi M. Akin “Berpikir adalah sumber segala pengetahuan; sebaliknya pengetahuan memberikan unpan balik kepada berpikir. Makin tinggi tingkat pengetahuan makin tinggi taraf berpikir seseorang. Proses berpikir secara rasional disebut penalaran, maka berpikir secara rasional dapat disebut berpikir secara nalar atau secara logis. Penalaran hanya terkait dengan kegiatan berpikir sadar dan aktif, dan mempunyai karakteristik tertentu untuk menemukan kebenaran.
Mengenai soal berpikir ini terdapat beberapa pendapat, diantaranya ada yang menganggap sebagai suatu proses asosiasi saja; pandangan semacam ini dikemukakan oleh kaum Asosiasionist. Sedangkan Kaum Fungsionalist memandang berpikir sebagai suatu proses penguatan hubungan antara stimulus dan respons. Diantaranya ada yang mengemukakan bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan psikis untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117).
Prof. Dr. Hasriadi M. Akin menjelaskan macam-macam kemampuan berfikir yaitu :
Pertama kemampuan berpikir kritis yaitu dapat menggunakan kreteria spesifik untuk evaluasi informasi dan penalaran dalam membuat keputusan, kemampuan ini sangat bermanfaat dalam identifikasi masalah.
Kedua kemampuan berpikir kreatif yaitu mampu untuk berpikir alternatif secara luwes, lancar, dan orisinil, sangat bermanfaat untuk menentukan alternatif solusi,
Ketiga kemampuan berpikir strategis yaitu sangat bermanfaat dalam dalam memutuskan dan membuat pemecahan masalah.
Manusia tidak dilahirkan dengan kemampuan berpikir kritis, atau dapat dimiliki dengan sendirinya. Berpikir kritis merupakan suatu kemampuan belajar yang harus dilatih Berfikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi untuk membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman ( Pery & Potter,2005). Berfikir kritis adalah cara berfikir yang reflektif, beralasan yang difokuskan pada keputusan apa yang dilakukan atau diyakini (Jennicek,2006). Berpikir kritis adalah proses untuk mengaplikasikan, menghubungkan, menciptakan, atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan secara aktif dan trampil (Abraham,2004). Berpikir kritis merupakan proses yang penuh makna untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam membuat suatu keputusan. Proses tersebut memberikan berbagai alasan sebagai pertimbangan dalam menentukan bukti, konteks, konseptualisasi, metode dan kriteria yang sesuai (American Philosophical Association, 1990).
Berpikir Dalam Islam
Islam memandang berpikir itu sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab dengan berpikir, manusia menyadari posisinya sebagai hamba dan memahami fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi. Tugasnya hanyalah menghambakan diri kepada Allah SWT dengan beribadah. Dengan berpikir juga, manusia mengetahui betapa kuasanya Allah menciptakan alam semesta dengan kekuatan yang maha dahsyat, dan dirinya sebagai manusia sangat kecil dan tidak berarti di hadapan Allah Yang Maha Berkuasa.
Al-Qur'an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman, "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran." (Ar-Ra'd: 19).
Islam memandang kaitan antara keilmuan dengan ketakwaan itu sangat erat. Dalam arti, semakin dalam ilmu seseorang akan semakin takut kepada Allah SWT. Disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah SWT adalah orang-orang yang berilmu dari hamba-Nya." (Faathir: 28).
Menurut kacamata Al-Qur'an, orang-orang yang mendurhakai Allah itu karena disebabkan "cacat intelektual". Betapapun mereka berpikir dan bahkan sebagian mereka ada yang turut bersaham untuk mengembangkan peradaban manusia, namun selama proses berpikir tidak mengantarkan mereka ke derajat "bertakwa", maka selama itu pula mereka tetap berada dalam kategori orang-orang yang "tidak mengerti" atau meminjam istilah Al-Qur'an "laa yafgahuun", "laa ya'lamuun", "laa ya'qiluun".
Oleh karena berpikir adalah suatu aktivitas yang dapat dilakukan oleh semua orang, baik muslim atau nonmuslim, yang akan menghasilkan kesimpulan yang beragam, sudah barang tentu diperlukan suatu kerangka yang dapat mengarahkan manusia dalam berpikir untuk mencapai sasarannya. Sebab, tanpa rumusan pola itu, manusia akan dapat terperangkap pada cara berpikir yang lepas kendali. Konsekuensinya tidak segampang yang dibayangkan manusia. Akan tetapi, tidak menemukan kebenaran itu dalam Islam identik dengan kesesatan. Allah berfirman (yang artinya), "Adakah di luar kebenaran itu kalau bukan kesesatan?" (Yunus: 32).
Jika mengamati petunjuk-petunjuk Al-Qur'an, hadits Nabi, dan pengalaman sejarah intelektual dalam Islam, maka dapat dikemukakan beberapa metode--atau dapat disebut sebagai kaidah--berpikir dalam Islam, yang mengantarkan seseorang berpikir secara proporsional dan benar untuk selanjutnya keluar dengan pemikiran yang jernih, lurus, dan relefan dengan kehendak Allah SWT.
Mungkin Anda sudah mengenal kalimat yang terkenal ini, sebuah kalimat yang di ucapkan oleh salah seorang sahabat Rasulullah saw yang dijamin masuk syurga. Beliau adalah Abdurrahman bin ‘Auf. Dalam kalimat ini terkandung sebuah pengertian berpikir positif. Para ahli saat ini mengatakan bahwa keajaiban berpikir positif ialah saat Anda mengatakan bisa, maka Anda akan bisa. Abdurrahman bin ‘Auf mengatakan bahwa beliau mampu untuk selalu menghasilkan uang, bahkan dengan peribahasanya: mengangkat batu pun bisa menghasilan emas dan perak. Secara tidak langsung, Abdurrahman bin ‘Auf mengatakan bahwa beliau bisa mendapatkan uang dari setiap perniagaanya. Inilah titik awal kita memahami pengertian berpikir positif.
Berpikir Positif diawali dengan sebuah keyakinan pada diri sendiri. Keyakinan bahwa dirinya mampu. Keyakinan yang mengatakan bahwa diri beliau “bisa”. Jika Anda melihat diri Anda “bisa”, maka Anda akan “bisa”. Jika Anda melihat diri Anda akan menghasilkan, maka Anda akan menghasilkan. Jika Anda tidak bisa melakukan hal seperti ini, maka Anda masih dikuasai oleh pikiran negatif.
Otak kita ini memang sangat luar biasa sekali. Otak akan merespon sebuah kata, misalnya kata kerja, sama baiknya dengan kita melakukan kerja itu sendiri. Begitu kita baru BERNIAT saja untuk melakukan suatu pekerjaan, sebenarnya otak kita sudah merekamnya sebagai sebuah pekerjaan itu sendiri. Makanya Rasulullah mewanti-wanti, bahwa sering-seringlah kita memikirkan yang baik-baik, meniatkan yang baik-baik, Karena kalau kita sudah berniat baik, maka itu sudah dicatat pahalanya sebagai sebuah perbuatan yang baik.
Sebaliknya Rasulullah masih menghibur kita bahwa kalau kita berniat buruk, maka dosanya belumlah dicatat sampai perbuatan buruk itu kita lakukan. Sebenarnya, ungkapan Rasulullah tentang berniat buruk ini sebenarnya hanya untuk menghibur kita saja. Sebab NIAT BAIK atau NIAT BURUK, sebenarnya dua-duanya sudah dicatat (direkam) oleh otak kita dalam bentuk memori bahwa kita sudah melakukan perbuatan baik atau buruk itu, walau intensitas rekaman itu belum sebesar kalau kita melakukan perbuatan baik atau buruk itu secara nyata.
Cara kita berfikir, cara kita menghadapi masalah, cara kita bertutur kata, cara kita bersikap, cara kita berkesimpulan, cara kita berakhlak, cara kita beradab, cara kita bertindak, sangat-sangat dipengaruhi oleh file macam apa yang ada di dalam otak kita masing-masing. Setiap kita tidak akan pernah bisa keluar dari file memori yang ada di dalam otak kita. Begitu kita keluar dari file memori di otak kita itu, maka kita akan kesulitan, kita akan ketakutan, kita akan blingsatan, kita akan malu, bahkan kita bisa merasa sangat berdosa, yang akhirnya kita akan merasa TERSIKSA sendiri.
Cara kita berfikir, cara kita menghadapi masalah, cara kita bertutur kata, cara kita bersikap, cara kita berkesimpulan, cara kita berakhlak, cara kita beradab, cara kita bertindak, sangat-sangat dipengaruhi oleh file macam apa yang ada di dalam otak kita masing-masing. Setiap kita tidak akan pernah bisa keluar dari file memori yang ada di dalam otak kita. Begitu kita keluar dari file memori di otak kita itu, maka kita akan kesulitan, kita akan ketakutan, kita akan blingsatan, kita akan malu, bahkan kita bisa merasa sangat berdosa, yang akhirnya kita akan merasa TERSIKSA sendiri.
Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berpikir secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap “berpikir secara mendalam” sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”.
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti “ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan”. Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka.
Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf, 7: 205)
“Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.” (QS. Maryam, 19: 39)
Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran yang menjadikan mereka takut kepada Allah.
Sebaliknya, Allah juga menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid buta tanpa berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para pengekor yang tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah. Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah.
Mentalitas golongan ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an: Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”
Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”
Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”
Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”
Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?”
Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?”
“Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. Al-Mu’minuun, 23: 84-90)
Sebagian besar manusia tidak berpikir tentang masalah kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika mendadak ditanya,”Apakah yang sedang anda pikirkan saat ini?”, maka akan terlihat bahwa mereka sedang memikirkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak perlu untuk dipikirkan, sehingga tidak akan banyak manfaatnya bagi mereka. Namun, seseorang bisa juga “berpikir” hal-hal yang “bermakna”, “penuh hikmah” dan “penting” setiap saat semenjak bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, dan mengambil pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman memikirkan dan merenungkan secara mendalam segala kejadian yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka pikirkan.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Aali ‘Imraan, 3: 190-191).
Ayat di atas menyatakan bahwa oleh karena orang-orang yang beriman adalah mereka yang berpikir, maka mereka mampu melihat hal-hal yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu serta Kebijaksanaan Allah.
Berpikir dengan ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah.
Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan seterusnya menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan penampilan fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah yang dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna. Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya sendiri, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang hakiki dan abadi di akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang hamba yang sedang diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah dalam ujian tersebut ia menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah atau sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni dalam melakukan perenungan ataupun proses berpikir yang mendatangkan kebahagiaan di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu, sangatlah ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :m“Dia lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).” (QS. Ghaafir, 40: 13).
Sumber :
2. Critical Thinking (Berfikir Kritis), Detty Iryani, Medical Education Unit (Meu) Fk-Unand.
3. Berpikir Nalar, Bahan Matrikulasi (Studium General Program Doktor Ilmu Hukum KPK Undip-Unila Angkatan II, Bandarlampung, 7 Agustus 2009, Prof. Dr. Hasriadi M. Akin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar