Lagi terjadi kasus besar di Indonesia, lagi-lagi masalah keuangan, masalah kurang mekanisme kontrol dan pengawasan tentang hal-hal yang menyangkut keuangan di Republik ini, kali ini terulang lagi masalah perbankan, dulu kita pernah mendengar kasus Bank Century, yang penyelesaiannya tidak pernah tuntas, belum lama ini ada masalah mafia pajak dengan aktornya Gayus Tambunan.
Negeri ini tak putus dirundung malang, ujung-ujungnya selalu merugikan masyarakat, merugikan orang yang lemah, merugikan rakyat yang tak berdaya, praktek membodohi masyarakat. Nasabah susah-susah berusaha untuk berinvestasi dan menyimpan uangnya di bank atau ikut program kartu kredit, uang simpanannya dibobol, uangnya digelapkan, ditipu dan dirampok secara teknologi (TIK) atau secara fisik, yang dimulai dengan praktek rayuan gombal, iming-iming fasilitas dari bank, iming-iming kemudahan, kemudian diperas. Praktek ini malah lebih berbahaya dari praktek korupsi yang merugikan keuangan Negara, yang intinya juga uang rakyat Indonesia.
Sebagai contoh kasus yang diberikan oleh Kompas.com, Selasa, 5/4/2011, dengan judul Perang Kartu Kredit, Nasabah Terteror, kasus ajeng dan bowo yang diperas dan dikadali oleh bank klik link berikut
Sungguh mengerikan, nasabah pada posisi yang lemah dan mudah dimanfaatkan, pertanyaannya yang mendasar saja, apakah sebuah bank itu, bisa berdiri, tanpa memilki nasabah sama sekali, tentu tidak pasti bank butuh nasabah. Tidak ada sebuah bankpun bisa dibangun tanpa memiliki nasabahnya, baik itu nasabah perorangan, nasabah perusahaan, nasabah kongklomerat, nasabah kaya, atau nasabah rakyat biasa.
Namun fenomenanya selalu yang menikmati dan diuntungkan hanya pihak bank, seharusnya saling menguntungkan, saling membutuhkan, dan ada hubungan timbal balik yang seimbang baik dari aspek keuangan, aspek keadilan, aspek kemanusian maupun aspek hukum, aturan dan perundang-undangan. Fenomena kasus kartu kredit dan kerugian nasabah bank sungguh memprihatinkan, merupakan kasus perampokan gaya baru, tidak menggunakan senjata tetapi menggunakan kemajuan tehnologi informasi dan bank itu sendiri. Kalau kita coba sekarang cari informasi melalui search engine google ketik kata “kasus” akan muncul beberapa kasus yaitu kasus Citybank, kasus Malinda yang sekarang lagi heboh, tentu saja kasus Gayus dan kasus bank Century tetap ada, dan kasus lain-lainnya. Kasus Malinda Dee yang bertugas sebagai pegawai bank dengan super lihainya menyikat dana nasabah Citibank, hal harus jadi pelajaran bagi perbankan di Indonesia. Citibank yang merupakan bank notabene bank kelas dunia, bank internasional yang beroperasi di Indonesia dengan kualitasnya konon ukuran dunia tidak bisa menjamin nasib uang nasabahnya.
Hari ini hampir semua media cetak merilis kasus Citibank atau kasus Melinda, tak luput media elektronik televisi, radio maupun media on-line. Luar biasa hebatnya ulahnya oknum-oknum perbankan, seperti bank itu tanpa pengawasan internal dan juga seperti tidak ada pengawasan dari pemerintah dan aparat hukum lainnya. Lantas apa yang dilakukan bank Indonesia selama ini, sebagai bank central untuk mengawasi bank-bank nasional dan bank asing yang beroperasi di Indonesia?.
Hal ini diberitakan suaramerdeka.com atau suaramerdeka Cyber news, 05/04/2011 : “Kepala Riset Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan bahwa setiap bank harus memperbaiki pengawasan internal mereka. Purbaya mencoba menganalisa. Penampilan Malinda ini jauh sekali dari kesan wajar, bahkan terlihat berlebihan dan mencolok. Aksesoris fashion gila-gilaan yang dia perlihatkan, kendaraan yang super mewah, tempat tinggal yang mentereng. Kenapa tidak dilakukan investigasi? Seharusnya pejabat bank dapat menjaga keamanan banknya tidak hanya dari tangan-tangan yang datang dari luar. Tapi juga dari dalam rumahnya sendiri”.
Kasus Citibank dimulai dengan meninggalnya seorang nasabah di kantor Citibank. Konon pihak Citibank menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector) yang berujung dengan hilangnya nyawa seseorang. Detik.com, Selasa 5/4/!011 memberitakan : “Kematian Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa (PPB), Irzen Octa (50) di kantor Citibank masih misterius. Benarkah dia mengalami tindakan kekerasan dari debt collector dan karyawan Citibank? Hasil visum belum keluar. Namun, ada kabar sebenarnya Irzen meninggal karena kaget mendengar tunggakan utangnya menjadi Rp 100 juta. Aparat kepolisian masih terus menyelidiki kasus kematian Irzen yang menjadi perbincangan di publik itu. Hingga saat ini, Polres Jakarta Selatan telah menjadikan Leader Collection Citibank, DT, sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya. Tiga tersangka lain adalah H atau Henry Waslinton (25), D atau Donald Harris Bakara (26) dan A atau Arief Lukman (26). Ketiganya dikenai pasal 351 ayat 3 jo pasal 170 jo pasal 335 KUHP tentang penganiayaan, bukan pembunuhan”.
Memiliki kartu kredit itu, tempo dulu dan sekarang jauh berbeda, sekarang setiap orang mudah memiliki kartu kredit, bahkan penawaran kartu kredit sampai mengejar ketengah-tengah aktifitas masyarakat, penawaranya seperti jualan kacang goreng, ditawarkan di Mal-mal, pusat-pusat perbelanjaan, ditawarkan ke kantor-kantor tempat masyarakat bekerja. Begitu juga bagi nasabah yang sudah punya kartu kredit pada suatu bank, ditawari iming-iming macam-macam untuk mencari nasabah lain, melalui jalur pertemanan, atau ditawari kartu kredit untuk anggota keluarganya, istri atau anaknya, dengan segala kelihaian merayunya melalui telp atau media komunikasi lainnya. Ujung-ujungnya kartu kredit ini nantinya malah menyusahkan nasabahnya, sehingga terjadi praktek lintah darat dengan institusi yang dilegalkan, untuk memeras nasabah yang lemah dari perlindungan hukum dan aspek keadilan dan kemanusian seperti yang diamatkan oleh Pancasila, sebagai nilai-nilai luhur dalam berbangsa dan bernegara.
YLKI menilai, seharusnya jasa debt collector tidak perlu ada mengingat hubungan transaksional yang terjadi antara nasabah dan pihak bank merupakan hubungan perdata. "Hubungan transaksional terjadi antara konsumen (nasabah) dengan bank. Jadi konsumen nggak ada hubungannya dengan pihak ketiga. Karena hubungan perdata terjadi antara konsumen dengan bank," jelas anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dihubungi Kompas.com, Senin (4/4 /2011).
Tulus menambahkan, masalah utang-piutang ini merupakan masalah perdata, di mana bank tidak bisa melimpahkan ke pihak ketiga (debt collector). Menjadi pidana, mengingat pemakaian jasa debt collector ini cenderung menggunakan tindakan kekerasan. Sehingga munculnya debt collector ini justru menimbulkan masalah.
Tulus pun menilai, bank terlalu jor-joran dalam mempromosikan kartu kredit sehingga mengabaikan informasi-informasi penting yang seharusnya diketahui konsumen. Lebih dari itu, sebelum mengesahkan pemberian kartu kredit kepada konsumen, pihak bank seharusnya melakukan penjajakan, seperti kunjungan ke rumah, untuk mengetahui kondisi keuangan konsumen. "Terlalu mudah atau longgar bank dalam memberikan persyaratan, BI harusnya punya kewenangan untuk itu. Ini merupakan kelalaian," sebutnya.
Bagi nasabah, YLKI menyarankan, agar jangan terbius oleh promosi kartu kredit. Lihat kondisi sosial, apakah penting untuk memiliki kartu kredit atau tidak. Tepati pembayaran sebelum jatuh tempo, mengingat bunga bank yang cukup tinggi. "Salah membanggakan kartu kredit. Kartu kredit itu sama dengan kartu utang," jelasnya, yang juga menilai suatu hal yang konyol jika melihat ada konsumen punya 10 kartu kredit.
Sedangkan kasus Malnda yang merupakan oknum pegawai Citibank terungkap setelah tragedy kematian Irzen Octa. Berikut berita dari
www.suarapembaruan.com, Senin, 04/04/2011 mengatakan : “Kejahatan yang dilakukan tersangka mantan manajer senior Citibank Melinda Dee (47) dinilai polisi berkategori terbesar sebagai kasus yang ditangani pada 2011 ini. Si cantik nan seksi Melinda dikabarkan bisa melakukan kejahatan perbankan tersebut karena memiliki modus yang rapih.
Demikian dikatakan Direktur Reserse Kriminal Khusus Brigjen Pol Arif Sulistyo, Senin (4/4). Menurut dia, kini pengembangan penyelidikan masih dilakukan dengan memeriksa bukti pada tiga nasabah dan sejumlah barang bukti lain, di antaranya mobil Hummer keluaran 2010 yang dibeli secara kredit dengan uang muka Rp 310 juta yang dibayarkan dari salah satu nasabah tersebut. Kemudian, mobil Mercedes 2010 yang dibeli secara kredit dengan uang muka Rp 246 juta yang juga dibayar dari dana nasabah. Kemudian, mobil Ferari tahun 2010 atas nama Malinda Dee dan Ferari tahun 2010. Uang muka kedua mobil Ferari tersebut sebesar Rp 1,6 miliar.
Barang bukti lain terdiri dari 29 formulir transfer. Dikatakan, pihaknya masih membutuhkan izin untuk membuka 30 rekening yang sudah diblokir. Selain itu, pihaknya juga menemukan rekening baru senilai Rp 11 miliar lebih, namun ini masih diselediki apakah diperoleh dari nasabah atau lainnya. Penyidik juga masih melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk pengejaran aset yang diduga hasil kejahatan. Arif menjelaskan, penyidik Bareskrim juga bekerjasama dengan PPATK guna memperlancar penyelidikan di lapangan.
Berdasarkan penyelidikan, diketahui tersangka juga membeli sebuah apartemen di kawasan SCBD secara kredit. Mabes Polri masih melakukan penyelidikan terhadap saksi penting lainnya, yang saat ini telah mencapai lebih dari 15 orang. Seorang wanita berinisial Dw, teller Citibank telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyelidikan juga mengarah pada pemeriksaan slip-slip Citibank yang ditangani Malinda apakah terindikasi palsu atau tidak”.
Komisi XI (Komisi Keuangan) DPR RI memanggil para Direksi Citibank, Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution, dan pejabat Mabes Polri untuk menjelaskan kasus yang melilit Citibank akhir-akhir ini terutama mengenai kasus debt collector. Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Aziz mengatakan pemanggilan dijadwalkan Selasa (5/4/2011)besok. "Ini kasus yang serius dan kami menilai perlu solusi serius dari pihak berwenang terutama BI," kata Harry ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, akhir pekan lalu.
Kita berharap BI, DPR, Pemerintah dan aparat hukum, kepolisian dan kejaksaan dapat membongkar praktek kejahatan perbankan seperti ini , boleh jadi praktek haram ini terjadi pada bank-bank lainya, mungkin kecil-kecilan, membobol rekening nasabah 100 ribu, 200 ribu pernasabah atau lebih, nasabah yang punya uang puluhan bahkan ratusan juta, ngak akan tahu, apalagi kalau uangnya aktif digunakan ditarik dan disimpan lagi. Juga praktek kartu kredit bank yang jor-jor, berlomba antar bank memangsa masyarakat, kemudian selanjutnya mereka (pihak bank) menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector) menagih utang kartu kredit yang macet, dan menekan masyarakat yang lemah dari perlindungan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar