The method used in this study is qualitative. These data were collected through literature study, observation and used question research through email to informan. Legal protection of domain names in the media Internet is very weak, it can be seen of law system, such as substance of law, structure of law and legal culture. These components should be strengthened to provide legal protection of domain names in the media internet.
Keywords : substance of law, structure of law, legal culture
ABSTRAK
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan melalui literature-literatur, observasi dan menggunakan pedoman wawancara yang dikirm melalui email kepada informan. Perlindungan hukum terhadap nama domain dalam media internet sangat lemah apabila dilihat dari sistem hukum, diantaranya yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga komponen sistem hukum inilah harus diperkuat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap nama domain dalam media Internet.
Katakunci :substansi hukum, struktur hukum, budaya hukum.
A. Pendahuluan
Perkembangan dunia pada saat ini sedang berada dalam era informasi (information age), yang merupakan tahapan selanjutnya setelah era pra-sejarah, era agraris dan era industri. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dengan adanya media TIK ini merupakan suatu bentuk kemajuan dalam era informasi. Perkembangan dunia telematika pada masa sekarang ini, telah membawa perubahan yang sangat besar pada tatanan masyarakat. Banyak masyarakat yang memanfaatkan TIK dalam melakukan kegiatan perdagangannya. Dengan adanya media TIK, seperti internet, telah mengubah jarak dan waktu menjadi sesuatu yang tak terbatas (borderless).
Adanya media internet ini, dapat dimanfaatkan bagi para pihak untuk melakukan komunikasi satu sama lain terutama komunikasi dalam kegiatan bisnis. Internet telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kalangan masyarakat, Industri/Perusahaan maupun bagi kalangan pemerintah. Fungsi dan peran dari Internet sangat penting dalam dunia perdagangan, oleh karena Internet sangat efektif digunakan, bagi kalangan pelaku usaha (pebisnis). Dengan semakin berkembangnya teknologi, tak jarang para pihak yang melakukan kegiatan bisnis melalui media TIK ini, sering terjadi konflik satu sama lain. Satu diantaranya, yang sering terjadi konflik dalam media internet yaitu mengenai nama domain. Nama domain merupakan suatu alamat dalam suatu jaringan komputer atau yang dikenal dengan internet.
Sejalan dengan perkembangan teknologi yang demikian kompleks, pendaftaran mengenai nama domain dalam media internet semakin meningkat dari waktu ke waktu. Seringkali dalam melakukan pendaftaran nama domain terjadi benturan dengan merek-merek dagang. Pemilihan nama domain dalam media internet seringkali menimbulkan persamaan dengan nama domain pihak lain, terlebih lagi penggunaan nama domain yang mempunyai persamaan dengan nama domain pihak lain, seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan dari nama domain itu sendiri. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh adanya persaingan bisnis dalam media internet. Kasus-kasus terkait dengan nama domain sudah marak terjadi di Indonesia, terlebih lagi kasus-kasus nama domain dalam media Internet ini, melibatkan perusahaan-perusahaan besar baik, di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kasus tersebut dapat saja disebabkan oleh karena, nama domain mempunyai nilai yang sangat komersial bagi para pelaku usaha, sehingga keberadaan nama domain dalam media internet, mempunyai peranan yang sangat besar dalam kegiatan perdagangan. Keberadaan nama domain dalam media Internet sangat terkait dengan merek dagang. Konflik kepentingan dalam pemberian nama domain seringkali terjadi, misalnya saja dengan cara, para pihak mendaftar terlebih dahulu nama domain yang mempunyai nilai komersial, kemudian dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi dari harga pendaftaran. Tindakan demikian sangat merugikan pelaku usaha yang benar-benar mempunyai kepentingan terhadap nama domain itu sendiri. Selain itu, pendaftaran nama domain juga dapat dilakukan untuk keperluan kejahatan, biasanya pelaku kejahatan mendaftarkan nama domain dengan nama merek yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar. Sebagai contoh kasus diantaranya yaitu Klik-BCA.com dengan Click-BCA.com
Belum adanya suatu regulasi yang jelas terkait dengan nama domain semakin memperburuk perlindungan hukum terhadap pemilik nama domain. Hal ini dapat saja diakibatkan adanya perubahan-perubahan yang begitu cepat dalam dunia maya. Belum adanya regulasi nama domain ini membuat aparatur penegak hukum, membuat suatu penafsiran terhadap hukum, agar tidak terjadi kekosongan hukum (vacuum recht).
Perlindungan hukum terhadap nama domain mutlak harus dilakukan agar tidak merugikan para pihak dalam media internet.
B. Permasalahan
Perkembangan TIK yang demikian pesat tak jarang menimbulkan konflik satu sama lain, satu diantaranya yaitu konflik mengenai nama domain. Belum adanya regulasi dalam penamaan nama domain semakin memperburuk penegakkan hukum terkait dengan nama domain itu sendiri. Oleh karena itulah dalam penelitian ini akan mencari mengenai bentuk perlindungan hukum dalam nama domain pada media Internet?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi tentang bentuk perlindungan hukum terkait dengan nama domain pada media internet dan yang menjadi kegunaan dalam penelitian ini yaitu sebagai bahan penyusunan kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika pasca pemberlakukan UU No: 11/2008/tentang ITE
Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini yaitu :
- Sebagai bahan rekomendasi strategi dan langkah lanjutan untuk melakukan penyusunan kebijakan pemerintah di bidang perlindungan nama domain pada media Internet.
- Manfaat teoritis yakni diharapkan dari penelitian ini dapat berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan mengenai bidang hukum Cyber terkait dengan nama domain dalam media Internet.
D. Kerangka Teori
Hukum itu harus dipersepsikan dalam suatu sistem. Artinya kalau berbicara mengenai hukum, bukan hanya satu unsur saja, melainkan terdapat beberapa unsur yang saling mempengaruhi. Dalam Teori mengenai sistem hukum sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman bahwa hukum merupakan seperangkat operasional yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, & budaya hukum.
- Substansi hukum meliputi : Aturan, norma, & pola perilaku (hukum yang tertulis & hukum yg berlaku – hidup dalam masyarakat).
- Struktur Hukum meliputi : Tatanan daripada elemen lembaga hukum (kerangka organisasi & tingkatan dr lembaga kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan, kepengacaraan).
- Budaya hukum meliputi : Persepsi masyarakat terhadap hukum atau nilai yang mereka anut yang menentukan bekerjanya system hukum yang bersangkutan. Sikap dan nilai-nilai inilah yang akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum,sehingga legal culture merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau dilecehkan[i]. Budaya hukum (legal culture) sebagai wujud pemikiran dalam masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai dengan perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat. Karenanya pemahaman akan budaya hukum (legal culture) suatu masyarakat harus memperhatikan secara menyeluruh aspek-aspek kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi di dalamnya[1].
Ketiga komponen yang diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya. Tidak mungkin mengkaji hukum hanya berdasarkan satu atau dua sistem tanpa memperhatikan sistem yang lain. Oleh karena itulah dalam penelitian ini, dapat dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam melakukan perlindungan hukum hak cipta, terhadap hasil karya bidang musik dalam media elektronik. Dengan demikian, teori sistem hukum ini digunakan untuk menganalisa bentuk perlindungan hukumnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman, yaitu melihat bentuk perlindungan hukum dari segi Substansi hukum, Struktur Hukum dan Budaya Hukumnya.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Penelitian ini bersifat kualitatif oleh karena menganalisis secara mendalam dan holistik, yaitu dari segala segi (komprehensif), sifat holistik ini menjadi salah satu aspek pendekatan kualitatif
(Qualitative Paradigm)[2]. Pendekatan kualitatif ini menekankan pada proses dan makna dari perilaku yang diteliti, serta realitas yang terjadi
[3]. Penelitian dilakukan pada obyek yang alamiah yaitu obyek yang tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika pada objek tersebut
[4].
Data penelitian ini dikumpulkan melalui alat bantu media elektronik yang dilakukan dengan mengajukan daftar pertanyaan/pedoman wawancara yang dikirim melalui email kepada Informan dan penelitian juga dilakukan dengan observasi. Penelitian ini juga dilakukan dengan studi pustaka, membaca buku-buku dan sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah ini, serta menyeleksi bermacam-macam bahan yang mengandung sudut pandang yang berbeda-beda dan bertentangan satu sama lain.
Data yang sudah terkumpul kemudian dilakukan klasifikasi dan analisis dan ditafsirkan untuk menjawab permasalahan penelitian. Lokasi penelitian dilakukan di daerah kota Bandung. Pertimbangan memilih daerah tersebut oleh karena perkembangan industry musik di daerah kota Bandung berkembang pesat dibandingkan daerah-daerah lain.
HASIL PENELITIAN
Hukum itu harus dipersepsikan dalam suatu sistem. Artinya kalau berbicara mengenai hukum, bukan hanya satu unsur saja, melainkan terdapat beberapa unsur yang saling mempengaruhi. Begitu juga halnya dengan perlindungan hukum terhadap nama domain dalam media internet, juga harus meliputi substansi hukum, struktur hukum, & budaya hukum. Bentuk perlindungan hukum terhadap nama domain dalam media Internet dapat dilihat sebagai berikut :
a. Substansi Hukum
Substansi hukum yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu Aturan, norma, & pola perilaku (hukum yang tertulis & hukum yg berlaku hidup dalam masyarakat). Perlindungan hukum terhadap nama domain diatur secara yuridis dalam undang-undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Diatur dalam Bab IV mengenai nama domain, Hak kekayaan intelektual dan perlindungan hak pribadi. Dalam ketentuan tersebut bahwa yang bertindak sebagai pengelola nama domain adalah pemerintah dan/atau masyarakat. Pemerintah inilah yang mempunyai peranan yang besar dalam memberikan perlindungan hukum terhadap nama domain. Selain itu terdapat juga peraturan mengenai pengelolaan nama domain khusus untuk situs web resmi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 28/PER/M.KOMINFO/9/2006. Dalam peraturan perundang-undangan sudah cukup jelas mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap nama domain dalam media internet.
Perlindungan hukum nama domain dalam media internet sangat terkait dengan perlindungan di bidang HAKI, khususnya hak atas kekayaan intelektual dalam bidang hukum merek. Oleh karena nama domain sangat terkait dengan merek dagang, meskipun masih terjadi perdebatan, apakah nama domain itu termasuk dalam hak atas kekayaan intelektual, khususnya dalam bidang merek. Dilihat dari segi pendaftarannya suatu merek berbeda dengan nama domain, hak eksklusif pada merek, lahir berdasarkan prinsip konstitutif, unsur pendaftaran merupakan faktor mutlak yang didahului oleh uji substantive dan pengumuman pada saat proses pendaftaran, berbeda dengan nama domain yang pemilikannya berdasarkan
first come first serve[5]. Namun untuk menghindari gugatan hukum dalam praktek registraat biasanya membuat suatu persyaratan yang menyatakan bahwa pemegang nama domain tidak boleh mendaftarkan nama domain yang bertentangan dengan hak kekayaan intelektual atau hak-hak lainnya milik orang lain, yang dituangkan dalam suatu pernyataan secara elektronik
[6].
Terlepas dari itu, seandainya nama domain termasuk dalam bidang hak kekayaan intelektual, maka pengaturan mengenai nama domain dalam media internet secara yuridis diatur dalam undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek. Dalam undang-undang merek tersebut sudah cukup jelas mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum dalam bidang hak atas kekakayaan intelektual khususnya dalam bidang hukum merek. Dalam undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa yang menjadi lingkup dari perlindungan hukum atas merek meliputi merek dagang dan merek jasa. Dalam undang-undang merek, negara memberikan hak eksklusif kepada pemilik merek yang telah terdaftar dengan jangka waktu tertentu untuk menggunakan sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Perlindungan hukum terhadap merek dalam undang-undang ini, hanya mempunyai jangka waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan, akan tetapi jangka waktu merek ini dapat diperpanjang kembali oleh pemegang merek tersebut.
Dalam hal pecegahan terhadap subyek hukum yang mempunyai niat tidak beritikad baik dalam melakukan kegiatan bisnisnya, juga diatur dalam undang-undang merek ini. Dalam undang-undang ini menyatakan bahwa “merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik”. Suatu pendaftaran merek oleh pemohon dapat ditolak apabila suatu merek mengandung unsur-unsur yang dilarang, sebagaimana yang diatur pada pasal 5 undang-undang merek bagian kedua mengenai merek yang tidak dapat didaftar dan yang ditolak undang-undang diantaranya :
- Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
- Tidak memiliki daya pembeda;
- Telah menjadi milik umum; dan
- Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang domohonkan pendaftaran.
Dalam ketentuan pasal 6 undang-undang merek :
1. Permohonan merek tersebut harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut :
a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk baran dan/atau jasa sejenis.
c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah terkenal.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
3. Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut :
a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis yang berhak;
b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, keculai atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
Dalam undang-undang merek itu sendiri, memberikan sanksi pidana yang sangat tegas kepada pelanggar merek yang menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain, untuk barang dan/atau jasa sejenis, yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, maupun menggunakan merek yang sama pada pokoknya, dengan merek terdaftar milik pihak lain.
Pengaturan khusus mengenai nama domain sampai dengan saat ini masih dalam tahap Rancangan Peraturan Perundang-undangan seperti misalnya diatur dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi, khususnya bagi penggunaan nama domain yang tidak sah yang diatur dalam pasal 26 RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi. Dalam rancangan undang-undang itu menyebutkan bahwa :
“Barangsiapa dengan sengaja dan secara melawan hukum menggunakan nama domain milik orang atau badan hukum lain, yang menimbulkan kerugian material bagi orang atau badan hukum lain atau bagi pemiliknya yang sah, dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling paling lama 5 (lima) tahun”.
Selain itu, diatur juga dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik (RPP-PITE), dalam rancangan pemerintah tersebut mengatur secara khusus mengenai pengelolaan nama domain. Pengelola nama domain dalam RPP PITE tersebut mempunyai kewenangan untuk menolak pendaftaran, menonaktifkan sementara, atau menghapus sebuah nama domain. Akan tetapi dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Informasi dan Transaksi Elektronik sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran terkait dengan nama domain hanyalah sanksi yang bersifat adminstratif yang berupa teguran tertulis, denda adminstratif, pemberhentian sementara, tidak diberikan perpanjangan izin dan/atau pencabutan izin.
Demikianlah beberapa peraturan perundang-undangan yang sangat terkait dengan pengaturan mengenai nama domain. Hanya saja yang menjadi permasalahan dalam pengaturan nama domain ini, masih belum diatur secara tegas dalam suatu peraturan yang khusus melakukan pengaturan mengenai nama domain. Sehingga pada saat ini masih menimbulkan multi intepretasi (multitafsir) apakah nama domain ini akan berdiri sendiri atau masuk kedalam pengaturan mengenai HAKI khususnya dalam hukum merek.
b. Struktur Hukum
Struktur hukum dalam penelitian ini merupakan tatanan dari pada elemen lembaga hukum atau elemen dari aparatur penegak hukum misalnya seperti pemerintah, polisi, hakim dan jaksa. Terkait dengan pengelolaan nama domain, bahwa yang bertindak sebagai pengelola nama domain adalah pemerintah dan/atau masyarakat, hal tersebut sesuai dengan amanat undang-undang tentang inforrmasi dan transaksi elektronik. Pemerintah inilah mempunyai peranan yang besar dalam memberikan perlindungan hukum terhadap nama domain. Tetapi dalam hal pengelolaan nama domain ini, tidak seluruhnya dikelola pemerintah, melainkan pada saat ini, pemerintah cq Direktorat Jenderal Aplikasi Telamatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika mendelegasikan kewenangan kepada pengelola nama domain internet Indonesia (PANDI).
PANDI inilah yang mempunyai kewenangan untuk mengelola nama domain dalam media internet. PANDI ini merupakan badan hukum yang dibentuk oleh perwakilan dari komunitas teknologi informasi dan telah memenuhi syarat sebagai badan hukum di Indonesia. PANDI merupakan mitra pemerintah dalam membangun sarana informasi komunikasi nasional dan internasional, sebagaimana maksud dan tujuan didirikannya PANDI.
Dalam hal proses pencegahan terkait dengan nama domain, PANDI menerapkan kebijakan nama domain yang sesuai dengan undang-undang ITE cq RPP-PITE cq Permen tentang pengelolaan nama domain (yang saat ini dikelola oleh PANDI). Proses pencegahan pelanggaran nama domain oleh PANDI juga menggunakan software tertentu, dengan menggunakan sistem registrasi yang berlaku/berjalan. Dalam proses registrasi inilah PANDI dapat melakukan pencegahan terkait dengan nama domain yang mempunyai kesamaan dengan domain pihak lain. Sehingga upaya PANDI dalam hal penberantasan pelanggaran nama domain dalam media elektronik biasanya menolak pendaftaran Nama Domain yang tidak sesuai dengan Kebijakan Nama Domain .id (yang embedded pada system registry yang berlaku).
Dalam hal pencegahan terhadap pendaftaran nama domain PANDI juga memiliki kriteria penamaan sehingga tidak merugikan pihak lain diantara kriteria tersebut diantaranya yaitu :
- Ada kaitan jelas antara nama domain dengan nama organisasi yang didaftarkan.
- Tidak menggunakan nama yang menunjukkan nama geografis.
- Tidak melanggar HaKI (Harus melampirkan surat izin dari perusahaan terkait apabila menggunakan nama/merk terkenal).
- Tidak menggunakan kata-kata yang menimbulkan dampak SARA.
- Tidak menggunakan kata-kata yang melanggar norma-norma dan kaidah hukum dan agama yang berlaku di Indonesia.
- Nama domain terdiri dari Alphabet “A-Z”,”a-z”, angka “0-9″, dan karakter “-” serta selalu diawali dengan Alphabet. (RFC819).
- Panjang nama domain minimum dua (2) karakter dan tidak lebih dari dua puluh enam (26) karakter.
Selain itu upaya pengawasan yang dilakukan oleh PANDI terkait dengan pelanggaran nama domain, dengan cara menolak pendaftaran nama domain yang tidak sesuai, dan upaya pengawasan di masa mendatang, PANDI akan mengawasi registrasi (terakreditasi) agar sesuai dengan kebijakan nama domain. Dalam website PANDI juga menyediakan ketersediaan pemeriksaan nama domain secara online. Dengan adanya media pemeriksaan nama domain pada website PANDI, kita bisa mengetahui nama domain pihak lain, agar pada saat sebelum pendaftaran nama domain, tidak merugikan pihak lain, dengan nama domain yang mempunyai kesamaan dengan nama domain pihak lain.
Dalam hal penyelesaian sengketa nama domain, apabila terjadi perselisihan antara pemilik nama domain, maka kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut bukanlah kewenangan dari PANDI melainkan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah pemerintah. PANDI tidak mempunyai kewenangan untuk meyelesaikan sengketa nama domain, hal tersebut sesuai dengan kebijakan dari PANDI itu sendiri, yang menyatakan bahwa Penyelesaian sengketa nama domain (dispute resolution) diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Pandi akan melaksanakan hasil keputusan penyelesaian sengketa yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam undang-undang ITE apabila dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan nama domain oleh masyarakat, pemerintah berhak mengambil alih sementara pengelolaan nama domain yang diperselisihkan. Sebaimana yang kita ketahui pemerintah saat ini mendelegasikan kewenangan pengelolaan nama domain kepada PANDI, sedangkan dalam aturan Internal PANDI itu sendiri, penyelesaian sengketa diselesaikan oleh pemerintah. Inilah permasalahannya yang sedikit membingungkan bagi para pihak, siapa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa mengenai nama domain ini.
Dalam Rancangan undang-undang Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik (RPP-PITE), penyelesaian perselisihan nama domain diselesaikan melalui komite penyelesaian perselisihan nama domain. Namun, dalam hal terjadi perselisihan Nama Domain yang tidak dapat diselesaikan melalui komite penyelesaian perselisihan Nama Domain, para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan melalui upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau pengadilan.
Penyelesaian sengketa nama domain inilah yang menimbulkan banyak permasalahan, terutama dalam hal kompetensi pengadilan/lembaga penyelesaian sengketa mana, yang berwenang untuk melakukan penyelesaian sengketa nama domain ini. Apabila diselesaikan melalui jalur pengadilan, maka pengeadilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa nama domain ini, apakah pengadilan negeri ataukah pengadilan niaga yang memang berkompeten untuk meyelesaikan sengketa bidang HAKI khususnya dalam bidang hukum merek.
Oleh karena itulah dengan adanya Rancangan undang-undang Penyelenggara Informasi dan Transaksi Elektronik ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, dalam hal penyelesaian sengketa nama domain.
c. Budaya hukum (legal culture)
Budaya hukum
(legal culture) yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan persepsi masyarakat terhadap hukum atau nilai yang mereka anut yang menentukan bekerjanya system hukum yang bersangkutan.
legal culture merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau dilecehkan
[7]. Persoalan kesadaran hukum masyarakat lebih tertuju kepada kesadaran hukum terhadap hukum tertulis, persoalan ini terlihat pada kelancaran pelaksanaan hukumnya. Apabila dalam pelaksanaan hukum tertulis banyak warga masyarakat tidak mengindahkan atau tidak mematuhi kaidah hukumnya sehingga banyak terjadi penyimpangan hukum maka dapat disimpulkan kesadaran hukum masyarakat rendah
[8].
Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap nama domain terkait dengan budaya masyarakat, memang masih sangat lemah, hal ini diakibatkan oleh karena, masyarakat belum memahami mengenai nama domain itu sendiri. Pelanggaran terhadap nama domain dapat juga diakibatkan oleh karena ketidak-tahuan masyarakat, kurangnya kesadaran masyarakat dan dapat juga, dalam hal tertentu, kesengajaan dengan maksud tertentu
[9]. Banyak pelanggaran nama domain ini terjadi, baik dikalangan pemerintah maupun kalangan masyarakat. Berikut beberapa contoh kasus pelanggaran terkait dengan nama domain, yang dilakukan oleh kalangan pemerintah maupun oleh masyarakat :
a. Pelanggaran nama domain di kalangan pemerintah.
Kasus terkait dengan pelanggaran nama domain pada situs pemerintah lebih kepada tidak sesuainya penamaan nama domain sesuai standar, sebagaimana yang diatur dalam Permen Kominfo nomor 28 Tahun 2006 tentang penggunaan nama domain go.id untuk situs web resmi pemerintahan pusat dan daerah.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Parwoko (Kementerian Komunikasi dan Informatika) dengan judul “Studi standarisasi pengelolaan situs web pada pemerintah daerah”. Dapat terlihat bahwa masih banyak web pemerintah yang tidak sesuai dengan standar yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Contoh dari pelanggaran ini misalnya :
Dalam Permen Kominfo nomor 28 tahun 2006 mensyaratkan bahwa untuk pemerintah provinsi menggunakan nama resmi nama daerah bersangkutan atau singkatannya, diikuti singkatan nama kepemerintahan daerah. Untuk Pemerintah Provinsi singkatan yang digunakan adalah ’prov’, Pemerintah Kabupaten singkatannya adalah ’kab’, Pemerintah Kota singkatannya adalah ’kota’. Sebagai contoh:
- Nama situs web Pemprov Sumatera Utara adalah www.sumutprov.go.id
- Nama situs web Pemkab Bandung adalah www.bandungkab.go.id
- Nama situs web Pemkot Palu adalah www.palukota.go.id
Kemudian Untuk satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), penamaan situs web menggunakan sub domain, yang diletakkan di depan nama domain dengan didahului oleh tanda baca ”●” (dot). Sebagai contoh:
- Nama situs web Dinas Pendapatan Daerah Pemkab Bandung adalah www.dispenda.bandungkab.go.id
- Nama situs web Kantor Pusat Data Elektronik Pemprov. Jawa Tengah adalah www.kpde.jatengprov.go.id[10].
Akan tetapi implementasi dilapangan masih ada yang tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Permen Kominfo nomor 28 Tahun 2006 tersebut, misalkan saja pada website pemerintah daerah Sulawesi Selatan dengan nama domain Sulsel.go.id. Dalam domain tersebut tidak menyebutkan identitas mengenai kompetensi wilayahnya misalnya seperti Provinsi, seharusnya nama domain tersebut yakni Sulselprov. go.id.
Kemudian juga terdapat keunikan tersendiri dalam mengelola domain milik pemerintah khususnya mengenai Subdomain. Dalam penelitian tersebut juga masih banyak nama sub domain yang tidak sesuai sebagaimana yang diamanatkan dalam Permen 28 Tahun 2006. Banyak nama subdomain yang tidak menggunakan nama akhirannya dengan .go.id misalnya saja seperti dibudparsumut.info, bappedajateng.info, perpustakaanbali.org, pustakaseumut.com, binamargajabar.com, centraljavatourism.com, visitingjogja.com, balicultural.com, diskeskaltim.com.
Banyak berbagai alasan mengapa aparatur pemerintah belum menggunakan nama domain/subdomain yang sesuai sebagaimana yang diamanatkan oleh Permen Kominfo nomor 28 tahun 2006 diantara alsannya yaitu bahwa pemerintah umumnya telah membuat nama domain/subdomain sebelum dikeluarkannya peraturan kominfo tersebut. Terlepas dari berbagai alasan tersebut, menurut peneliti nama domain/subdomain pemerintah ini, harus segera disesuaikan dengan peraturan menteri tersebut. Agar penggunaan nama domain/subdomain tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab misalnya saja dipergunakan oleh orang-orang yang memang mempunyai tujuan untuk kepentingan komersial.
b. Pelanggaran nama domain dikalangan masyarakat.
Kasus terkait dengan pelanggaran nama domain dikalangan masyarakat beberapa contoh diantaranya yaitu :
1. Kasus Domain Mustika Ratu
Sejak awal 1970-an, Mooryati Soedibyo dan Martha Tilaar merupakan sahabat karib. Mereka bekerja sama secara rukun berupaya agar jamu dan kosmetika tradisional Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Pada awalnya, keduanya berjalan dengan satu merek yaitu Mustika Ratu. Kemudian pada tanggal 7 Februari 1977 mereka sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Mustika Ratu tetap dipegang oleh Mooryati Soedibyo, sedangkan Martha Tilaar mendirikan Martina Berto yang memegang merek Sari Ayu.
Seiring berjalannya waktu, ternyata persaingan yang timbul mulai meretakkan hubungan mereka berdua. Pasalnya, baik Mustika Ratu yang mengeluarkan produk dengan nama Mustika Ratu dan Martina Berto yang mengeluarkan produk dengan nama Sari Ayu, ternyata memiliki produk dan segmen yang sama persis. Beberapa produk bahkan keluar nyaris secara berbarengan untuk menyaingi produk lainnya.
Chandra Sugiono yang pada awal bergabung ke Martina Berto sebagai Manajer Internasional Marketing bulan September 1999, kemudian melakukan suatu tindakan yang ternyata cukup fatal dikemudian hari. Dia mendaftarkan nama domain Mustika-Ratu.com pada 7 Oktober 1999. Dengan beranggapan bahwa nama domain
Mustika-Ratu.com sebagai merek dan ternyata telah diambil oleh pihak seterunya, maka akhirnya pada 4 September 2000 Mustika Ratu melaporkan Martina Berto ke Mabes Polri
[11].
Dalam kasus tersebut hakim dalam melakukan putusannya bukanlah menggunakan undang-undang merek. Melainkan hakim, dalam putusannya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(wetboek van strafrecht) yang memenjarakan Chandra Sugiono dengan pasal 382 bis. Hakim tidak menggunakan undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh karena perbutan terdakwa dilakukan sebelum undang-undang tersebut diundangkan.
2. Kasus Sony-AK
Sony Kurniawan yang merupakan blogger Indonesia yang mempunyai domain dengan nama Sony-AK.com disomasi oleh perusahaan Sony Corp yang merupakan perusahaan elektronik raksasa asal jepang.
Adapun somasi yang dilakukan pihak sony corporation terhadap Sony AK berkaitan dengan nama alamat blog sony yang berada di alamat sony-ak.com tersebut melanggar merek dagang yang dimiliki perusahaa.n asal jepang tersebut. Akibatnya, sony-ak harus menyerahkan domain sony-ak.com kepada sony corp jepang.
Menurut sony corporation nama domain
http://www.sony-ak.com secara visual memiliki persamaan pada keseluruhannya dan menyerupai merek SONY, penggunaan merek SONY merupakan pelanggaran dalam undang-undang merek
[12].
Dalam kasus tersebut belum sampai pada tahap pengadilan, karena kedua belah pihak masih mempertimbangkan untuk berdamai, sony-ak sendiri tidak mempunyai itikad buruk untuk melakukan suatu hal yang akan merugikan sony corp.
Dari beberapa kasus, sebagaimana yang dijelaskan diatas, masalah mengenai budaya hukum juga masih menjadi kendala, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui mengenai arti dari nama domain itu sendiri. Memang sebenarnya nama domain yang mempunyai kesamaan dengan nama domain pihak lain, belum tentu mengindikasikan adanya itikad buruk dari para pihak. Oleh karena itulah menurut peneliti, sosialisasi terkait dengan nama domain ini mutlak harus dilakukan.
Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap nama domain dalam media internet masih sangat lemah, apabila dilihat berdasarkan subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukumnya. Apabila kita lihat dari segi substansi hukum atau dilihat dari segi peraturan perundang-undangan masih belum diatur secara tegas dalam suatu peraturan yang khusus melakukan pengaturan mengenai nama domain. Sehingga pada saat ini masih menimbulkan multiintepretasi (multitafsir) apakah nama domain ini akan berdiri sendiri atau masuk kedalam pengaturan mengenai HAKI, khususnya dalam hukum merek. Kemudian apabila dilihat dari segi struktur hukum atau dilihat dari segi aparatur penegak hukumnya juga masih banyak menemukan kendala, terutama mengenai kompetensi yang berwenang menyelesaikan perselisihan nama domain ini. Dilihat dari budaya hukum (legal culture) juga masih sangat lemah, hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus mengenai nama domain dalam media internet. Dengan adanya beberapa kasus mengenai nama domain ini mengindikasikan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui mengenai arti dari nama domain itu sendiri.
Saran
Agar Rancangan Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik (RPP-PITE) maupun undang-undang tentang tindak pidana teknologi informasi (Tipiti) yang terkait dengan nama domain, harus segera disahkan agar tidak terjadi kekosongan hukum (vacuum recht), Sehingga dengan adanya peraturan pemerintah atau undang-undang tersebut akan dapat memberikan kepastian hukum terkait dengan nama domain dalam media internet.
- Perlu ditingkatkan kembali sosialisasi terkait dengan pemberian nama domain dalam media internet, agar kasus-kasus mengenai nama domain baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan pemerintah tidak terjadi kembali.
- Perlu dipertegas kembali mengenai pengaturan nama domain ini, apakah nama domain termasuk dalam bidang hak kekayaan intelektual khususnya dalam bidang hukum merek ataukah nama domain ini berdiri sendiri, sehingga tidak menimbulkan multitafsir bagi aparatur penegak hukum.
Daftar Pustaka
Buku
Bailey, Kenneth D,
Methods of Social Research, The Pree Press, A Divission of Macmillan Publishing Co.,Inc, New York, London, hal. 62.
Lawrence M. Friedman.
American Law (New York : W.W. Norton and Company, 1984), Dalam Natasya Yunita Sugiastuti, Tradisi Hukum Cina : Negara Dan Masyarakat (studi mengenai peristiwa-peristiwa Hukum Di Pulau Jawa Zaman Kolonial 1870-1942).
Ramli, Ahmad M,
Cyber Law dan HAKI (Dalam Sistem Hukum Indonesia), Bandung, Refika Aditama, 2006.
Supramono, Gatot,
Hak Cipta dan Aspek Hukumnya, Jakarta, Rineka Cipta, 2010.
Sugiyono,
Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung, Alfabeta, 2008.
Yin, Robert K,
Applications of Case Study Research, Sage Publications International Education and Profesional Publisher Newburry Park London New Delhi.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek.
Permen Kominfo nomor 28 tahun 2006 tentang penggunaan nama domain go.id untuk situs web resmi pemerintahan pusat dan daerah.
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik (RPP-PITE),
Website
http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Fenomena_Domain_Name_dan_Pranata_Hukum.
http://dobelden.wordpress.com/2010/03/16/saran-solusi-sengketa-sony-corp-vs-sony-ak/.
[1]Stewart Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey, “
Legal Culture escription of Whole Legal Sistem, dalam Steward Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey,
Law & Society Reading on the Social Study of Law (New York : W.W. Norton & Company, 1995), hal. 165. Dikutip oleh Natasya Yunita Sugiastuti.
[2]Kenneth D, Bailey,
Methods of Social Research, The Pree Press, A Divission of Macmillan Publishing Co.,Inc, New York, London, hal. 62.
[3]Robert K Yin,
Applications of Case Study Research, Sage Publications International Education and Profesional Publisher Newburry Park London New Delhi, hal. 4
[4]Sugiyono,
Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung, Alfabeta, 2008, hal. 8
[5]Ahmad M Ramli,
Cyber Law dan HAKI (Dalam Sistem Hukum Indonesia), Bandung, Refika Aditama, 2006, hal. 65.
[7]Lawrence M. Friedman.
American Law (New York : W.W. Norton and Company, 1984), Dalam Natasya Yunita Sugiastuti, Tradisi Hukum Cina : Negara Dan Masyarakat (studi mengenai peristiwa-peristiwa Hukum Di Pulau Jawa Zaman Kolonial 1870-1942).
[8] Gatot Supramono,
Hak Cipta dan Aspek Hukumnya, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hal. 160
[9] Jacob M. Sunarto (Dalam pedoman wawancara melalui email).
[10]Penjelasan Permen Kominfo nomor 28 tahun 2006 tentang penggunaan nama domain go.id untuk situs web resmi pemerintahan pusat dan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar