A. Perkembangan Media Massa
Riset mengenai efek media massa terus mengalami perkembangan sejalan dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi komunikasi massa. Efek yang ditimbulkan oleh media massa merupakan konsekuensi yang harus diterima khalayak sebagai individu yang mengkonsumsi media dan terkena terpaan media massa.
Sejauhmana efek tersebut bersifat konstruktif ataupun destruktif, berikut ini dikemukakan berbagai perkembangan riset mengenai efek media dan teori-teori yang berhubungan dengan terpaan media massa.
Salah satu revolusi dramatik yang dialami oleh umat manusia adalah revolusi informasi. Revolusi informasi telah membawa ke arah perkembangan industri media massa yang menjadi pemicu peubahan tradisi umat manusia dari tradisi lisan menjadi tulisan. Perubahan sosial masyarakat dengan adanya perkembangan media massa, memunculkan kesadaran bagi manusia untuk turut aktif dalam menentukan seperti apa masyarakat harus dibentuk. Kesadaran kultur baru manusia akibat perkembangan industri media massa membeikan suatu era baru yaitu pembentukan masyarakat modern.
Kaitannya dengan perkembangan media massa, Mc.Quail (1987: 9-18) membahas empat unsur utama yaitu, teknologi, situasi politik, sosial dan ekonomi masyarakat. Keseluruhan berinteraksi dengan cara yang berbeda dan dengan keunggulan masing-masing dan dalam media yang berbeda. Menurut perkembangannya, bentuk-bentuk sarana media dimulai dengan media cetak, film, siaran radio dan televisi sampai munculnya media elektronik baru seperti teleteks, videoteks, video komputer, internet dan yang lainnya. Lahirnya media cetak sebagai media modern, diawali dengan penemuan mesin cetak oleh J. Guthenberg. Menurut McQuail, awalnya percetakan buku hanyalah merupakan upaya pengunaan alat teknik untuk memproduksi teks yang sama, secara besar-besaran.
Pada abad ketujuh belas muncul surat kabar yang merupakan gabungan antara pihak percetakan dengan pihak penerbitan. Dibanding dengan buku cetak, surat kabar memiliki tingkat inovasi yang lebih tinggi. Kekhususan surat kabar dibanding dengan sarana komunikasi budaya lainnya terletak pada individualisme, berorientasi pada kenyataan, kegunaan dan sekularitas serta kecocokan dengan tuntutan kebutuhan kelas sosial yang baru. Sejalan dengan perkembangannya maka surat kabar menjadi komersil dan mempunyai dua fungsi umum yaitu :
- Merupakan sumber informasi tentang apa yang sedang terjadi di dunia dan daerah setempat. Fungsi ini tidak hanya terbatas pada tajuk rencana tetapi juga berita mengenai politik, ekonomi dan sosial.
- Sebagai sarana hiburan, untuk fungsi ini biasanya dilakukan oleh Kelompok muda dan kelompok dengan tingkat pendidikan yang terbatas, yang membaca rubrik seni, olah raga dan komik. (Devito, 1997: 511).
Sebelum kemunculan televisi, radio merupakan sistem komunikasi yang paling dominan. Hal yang mesti digarisbawahi bahwa kemunculan radio merupakan teknologi yang mencari kegunaan dan bukan lahir sebagai respon terhadap sesuatu kebutuhan pelayanan baru. (McQuail, 1987:15). Menurut Raymond Williams (1975) radio dan televisi merupakan sistem yang dirancang untuk kepentingan transmisi dan penerimaan yang merupakan proses abstrak, yang batasan isinya sangat terbatas atau bahkan sama sekali tidak ada.
Setelah kemunculan televisi, maka peran radio mulai berkurang. Televisi menjadi media yang poluler dan tersebar dipelosok penjuru dunia termasuk Indonesia. Dari berbagai media yang hadir, televisi merupakan merupakan media yang sangat fleksibel dan ideal sekaligus unik. Televisi masuk hampir ke setiap rumah dan memberikan pengajaran, tontonan juga tuntunan kepada setiap individu sejak bayi hingga dewasa.
B. Fungsi Media Bagi Individu dan Masyarakat
Seperti telah diketahui bahwa media mempunyai fungsi yang koherent dalam melakukan perannya sebagai saluran mediasi. Menurut Lasswell (1948), ada tiga fungsi utama media massa dalam masyarakat, yaitu : (1) pengawas lingkungan (survaillance of environment), (2) korelasi antar bagian-bagian dalam masyarakat dalam memberikan reaksi terhadap lingkungan (correlation of the parts of society in responding to the environment), (3) Transmisi warisan sosial budaya, yang dilakukan secara berkesinambungan yang berhubungan dengan penyampaian informasi dari generasi ke generasi berikutnya (Transmition of the social heritage of generation to the next). Wright (1986) menambahkan fungsi media keempat ke dalam daftar yang telah dibuat oleh Lasswell (1948), yaitu sebagai sarana untuk memperoleh hiburan, disamping ia juga melihat adanya fungsi atau efek positif dan disfungsi atau efek negatif media. Kemudian Rivers, Schramm dan Clifford (1980) menambahkan satu fungsi lagi yaitu sarana iklan.
Lazarfeld dan Merton (1951) mengemukakan fungsi media lainnya, yaitu dalam pemberian status (status conferral). Menurutnya jika seseorang menjadi penting, maka akan diperhatikan oleh media, dan jika seorang diperhatikan oleh media, maka pasti seseorang tersebut adalah orang penting.
Mac Quail dan kawan-kawan (1970) menyimpulkan fungsi media bagi individu sebagai berikut :
1. Berfungsi sebagai informasi. Disini media dijadikan sarana, antara lain untuk mencari berita tentang perisriwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia. Disamping itu, media dapat dijadikan tempat untuk memperoleh bimbingan yang menyangkut berbagai masalah – masalah praktis, pendapat dan segala hal yang berhubungan dengan penentuan pemilihan. Media juga dapat memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum serta untuk memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan.
2. Berfungsi sebagai identitas pribadi, dengan menemukan penunjang nilai- nilai pribadi, menemukan model perilaku sehingga meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri.
3. Berfungsi sebagai integrasi dan interaksi sosial, dengan memperoleh pengetahuan tentang keadaan orang lain, akan menimbulkan rasa empati dalam lingkungan sosial, juga mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa kemampuan. Media juga dapat dijadikan sebagai bahan percakapan dalam berinteraksi sosial, memperluas pergaulan, dan membantu menjalankan peran sosial dalam masyarakat dan memungkinkan seseorang untuk menghubungi sanak keluarga, teman dan masyarakat.
4. Berfungsi sebagai hiburan, antara lain media yang menyediakan hiburan untuk melepaskan diri dari rutinitas kegiatan, bersantai untuk memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis, menghilangkan kepenatan, mengisi waktu, meluapkan emosi.
Josep Devito (1997) mengungkapkan, bahwa salah satu fungsi media yang banyak dilupakan adalah fungsi membius (narcotizing). Hal ini dilihat, jika media menyajikan suatu informasi, penerima akan percaya bahwa tindakan tertentu telah diambil. Salah satu contoh fungsi yang membius adalah kehadiran telenovela di televisi yang ditayangkan secara bersambung setiap hari, dengan tema perselingkuhan, kekerasan dan berbagai tema sterotipe, yang membius khalayak untuk terus mengikuti tayangan tersebut.
Katz Blumer dan Gurevitch (1974) mengemukakan bahwa fungsi-fungsi tersebut, belum cukup menggambarkan keseluruhan jajaran fungsi-fungsi yang mungkin ada. Oleh sebab itu para peneliti mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin fungsi-fungsi media dalam masyarakat.
Penggambaran mengenai fungsi-fungsi media, erat kaitannya dengan penggunaan media bagi individu dan masyarakat, seperti tentang apa yang mendorong individu memfaatkan media dan apakah media massa dapat memenuhi kebutuhan individu. Katz, Blumer dan Gurevitch (1974) menggunakan pendekatan uses and gratification, yang meneliti kebutuhan dari sudut psikologi dan sosial yang menimbulkan harapan tertentu dari, dan mengakibatkan pola terpaan media yang berlainan diantara individu. Ada beberapa asumsi dasar yang dikemukakannya melalui pendekatan uses and gratification yaitu :
- Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan akan mempunyai tujuan atau akan memberi manfaat.
- Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
- Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat tergantung kepada perilaku khlayak bersangkutan.
- Banyak tujuan dalam memilih media massa yang disimpulkan dari data yang diberikan oleh anggota khalayak; artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi tertentu.
- Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak. (Blumer dan Katz, 1974).
Rubin (1993) mengemukakan bahwa ada 2 tipe orientasi berbeda dari khalayak dalam menggunakan media, yaitu media sebagai “ritualized” penggunaan media berdasarkan kebiasaan (habit) dari “instrument” yaitu penggunaan media yang dilakukan berdasarkan pemilihan secara selektif.
Katz, Gurevit dan Hazz (1973) menyatakan bahwa khalayak dalam menggunakan media adalah dengan alasan untuk pemenuhan kebutuhan (motivasi) yaitu :
- Motif kognitif yaitu menekankan pada adanya kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat emosional tertentu.
- Motif afektif menekankan pada aspek perasaan yang berhubungan dengan estetika, kesenangan dan pengalaman emosional.
- Integrasi pribadi yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan kredibilitas, keyakinan dan stabilitas serta status secara individu.
- Integrasi sosial yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan hubungan keluarga, sahabat dan dunia luar.
- Pelarian, yang berhubungan dengan keinginan untuk menghindarkan diri dari tekanan, meredakan ketgangan dan keinginan untuk mengalihkan perhatian.
C. Pengaruh Media Massa Terhadap Khalayak
Dalam proses komunikasi pada awalnya khalayak atau penerima pesan dianggap sebagai individu-individu yang pasif dan menerima pesan apapun yang disampaikan oleh media massa, karena itu riset komunikasi massa umumnya berkaitan dengan efek komunikasi massa. Dalam melihat efek komunikasi massa terhadap individu atau khalayak ada tiga teori yang digunakan yaitu :
1. Stimulus- Respon
Prinsip stimulus respon pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, dimana efek dianggap reaksi terhadap stimulus tertentu. Elemen-elemen utama dari teori ini adalah, pesan (stimulus), penerima (receiver) dan efek (respon). Prinsip stimulus – respon merupakan dasar dari teori jarum hipodemik (hypodermik needdle theory). Isi media dipandang sebagai obat yang disuntikan kedalam pembuluh darah khalayak, dan diasumsi akan bereaksi sesuai dengan apa yang diharapkan. (Sendjaja: 1998:189). Stimulus respon juga sejalan dengan Bullet Theory yang beranggapan bahwa, proses komunikasi dapat dilihat seperti peluru yang dapat menghantarkan ide-ide, perasaan atau pengetahuan atau motivasi hampir secara otomatis dari satu individu ke individu lainnya (Schramm dan Roberts, 1974).
De Fleur (1970) melakukan modifikasi terhadap teori stimulus-respon dengan teori individual difference atau perbandingan individu. Di sini diasumsikan bahwa pesan-pesan media berisi stimulus tertentu yang berinteraksi secara berbeda-beda dengan karakteristik pribadi para anggota khalayak.
2. Komunikasi dua tahap
Pada tahun 1940 Lazarfeld dan kawan-kawan melakukan penelitian mengenai efek media dalam kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat di kota Ohio. Hasil penelitinnya menunjukkan, bahwa efek media tidak sehebat seperti dugaan selama ini, sebagaimana yang ditunjukkan dalam teori komunikasi massa. Kalaupun ada pengaruh, maka pengaruh itupun sangat kecil. Kebanyakan pemilih menentukan pilihannya dari hasil berkomunikasi dengan kawan, tetangga, pemimpin serikat kerja, suami atau lainnya.
Kesimpulan penelitian tersebut adalah :
- Peran media hanya mempertegas pilihan yang sudah ditentukan sebelumnya dan bukan mempengaruhi.
- Pengaruh media atas keputusan pemilih dalam menentukan calon yang akan dipilih ternyata sangat kecil.
- Perubahan sikap yang terjadi terhadap calon yang akan dipilih ternyata juga dipengaruh ikatan atau tekanan kelompok agama tertentu, jadi bukan karena pengaruh media, karena media massa ternyata hampir tidak berpengaruh. Media massa lebih berfungsi sebagai penguat keyakinan yang sudah ada, yang ternyata lebih berpengaruh adalah pemuka pendapat (opinion leader) melalui komunikasi antar pribadi.
Berdasarkan temuannya itu, Lazarfeld menggagas hipotesisi baru yang disebut “ two – step – flow” atau komunikasi dua tahap, yang sangat popular sejak tahun 1950-an.
D. Pengaruh Media Massa Terhadap Masyarakat Dan Budaya
Penelitian mengenai efek media massa mengalami perkembangan, setelah De Fleur (1970) mengembangkan pemikiran mengenai efek media, dengan memasukkan variabel norma budaya. Teori ini disebut “cultural norms” yang beranggapan bahwa media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu tetapi juga mempengaruh kultur, pengetahuan kolektif, dan norma-norma serta nilai-nilai dalam suatu masyarakat.
Bagian teori ini, meneliti proses efek yang memiliki karakteristik yaitu efek yang berlangsung untuk jangka waktu yang lama, umumnya tidak terencana dan bersifat tidak langsung dan kolektif. Beberapa teori penting yang berkaitan dengan norma budaya seperti teori Agenda Setting, teori Dependensi, teori Spiral of Silence dan teori Kultivasi.
Diawal tahun 1970-an McCombs mengkaji efek media massa terhadap khalayak dan memperkenalkan suatu teori yang disebut “ Agenda Setting” . Asumsi dari teori ini bahwa pengaruh media tidak langsung tetapi apa yang membuat manusia berpikir, ini adalah penting dan kemudian memikirkannya. Bahwa media mempengaruhi manusia tidak dengan mengatakan apa yang dipikirkan tetapi bercerita mengenai apa yang dipikirkan. Inti pemikiran dari teori agenda setting berkaitan dengan fungsi belajar dan media massa. Khalayak tidak hanya mempelajari isu-isu yang diberitakan media, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik berdasarkan cara media memberikan penekanan terhadap isu tersebut.
Berbagai penelitian mengenai agenda setting, menunjukkan adanya perbedaan hasil penelitian diantara peneliti. Chaim H.Eyal menulis bahwa penelitian mengenai peran agenda setting pada televisi berbeda dengan surat kabar. Tintion, Benton dan Fraizer serta Muller menemukan bahwa agenda media cetak seperti surat kabar lebih sering ditentukan sesuai dengan agenda publik dibanding dengan media televisi. Sedang McCombs dan Shaw (1972) menemukan tidak ada perbedaan antara agenda setting televisi dan surat kabar.
Penelitian yang dilakukan oleh Palmgreen menemukan dukungan parsial terhadap hipotesis bahwa surat kabar menunjukkan efek agenda setting yang lebih kuat dibanding televisi. Kajian mengenai isi televisi tentang pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1972 yang dilakukan oleh Patterson dan McClure menyimpulkan bahwa televisi memiliki pengaruh yang minimal terhadap kesadaran publik tentang isu-isu dan persepsi mengenai citra kandidat presiden. Sebaliknya iklan politik dinilai sebagai faktor yang meningkatkan kesadaran khalayak terhadap posisi kandidat Presiden. Hal ini sejalan dengan penemuan McCombs dan Bowers bahwa iklan politik pada televisi memainkan peran agenda setting yang berbeda dengan informasi televisi.
Hipotesis agenda setting yang dijelaskan oleh Carey (1976) yang mengkaji agenda setting dari tiga jaringan televisi nasional, tiga majalah national dan tiga surat kabar nasional, menemukan bahwa liputan pers lintas media berlaku sangat konsisten, dan isu agenda media sama dengan isu agenda publik. Jika efek yang dihasilkan tidak sama, maka pengaruh yang berbeda dari kedua jenis media dijelaskan oleh faktor teknologi, format dan pola penggunaan media oleh khalayak. Penjelasan mengenai teori agenda setting, dapat diketahui sejauhmana media massa baik itu surat kabar, televisi ataupun media lainnya, dapat mempengaruhi masyarakat dan budayanya.
Weaver dan Buddeman (1955) membuat studi ulang mengenai penggunaan dan efek surat kabar dan televisi. Hasilnya ditemukan bahwa orang mengangap surat kabar dan televisi bermanfaat dan kedua media tersebut digunakan untuk saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan pengalihan (diversion) dan pengetahuan (knowledge).
Sandra B.Rokeach dan Melvin (1972) mengembangkan suatu teori yang disebut sebagai teori dependensi. Fokus teori ini pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa.
Asumsi dasar dari teori ini adalah :
- Dalam masyarakat modern, khalayak menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi.
- Ketergantungan pada media massa sebagai sumber informasi berpengaruh pada dampak kognitif dan afektif yang terjadi pada khalayak.
- Ketergantungan khalayak terhadap media massa dipengaruhi oleh sejumlah kondisi struktural terutama yang berkaitan dengan tingkat stabilitas.
- Kondisi sruktural masyarakat ini secara timbal balik akan berpengaruh terhadap apa yag dilakukan media (fungsi) dalam hal jumlah, diversitas, reabilitas dan otoritasnya dalam pelayanan infomasi kepada khalayak.
Selanjutnya efek yang mungkin dipelajari dari teori dependensi ini adalah :
- “Efek Kognitif”, seperti menciptakan atau menghilangkan ambiguitas dan pembentukan sikap.
- “Efek Afektif”, seperti menciptakan ketakutan ataupun kecemasan, meningkatkan atau menurunkan dukungan moral.
- “Efek Behavioral”, seperti mengaktifkan atau meredakan pembentukan isu tertentu atau mencarikan penyelesaiannya. (Sendjaja, 1998: 201).
Menurut Steven M.Chaffee (dalam Wilhoit dan Harold de Bock, 1980:78) ada tiga pendekatan dalam melihat efek media massa yaitu :
- Kelompok, masyarakat atau bangsanya melihat efek media massa itu sendiri.
- Melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak, komunikasi massa, penerimaan informasi, perubahan perasaan atau sikap, perubahan perilaku yang diistilahkan sebagai perubahan kognitif, afektif dan behavioral.
- Melihat satuan observasi yang dikenai efek media massa baik individu, Chaffee juga menyebutkan lima efek media masa yaitu efek ekonomis, efek sosial, efek pada penjadwalan kegiatan, efek pada penyaluran/penghilangan rasa tertentu dan efek perasaan orang terhadap media.
Klapper (1960), melaporkan hasil penelitiannya mengenai efek atau pengaruh media massa, dalam kaitannya dengan pembentukan sikap yaitu :
- Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok (atau hal lain yang bukan faktor personal).
- Komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, meskipun terkadang berfungsi sebagai agen pengubah.
- Jika komunkasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi, daripada perubahan sikap secara keseluruhan.
- Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat individu lemah, misalnya pada iklan komersil.
- Komunikasi massa efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperkuat. (Oskamp, 1977).
Ball Rokeach dan DeFleur (1976) mengemukakan bahwa ada tiga komponen yaitu audiens, system media dan system social yang saling berhubungan satu dengan lainnya dan sifat ini berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya
Sosiolog Jerman Elizabeth Noelle-Newman pada tahun 1974 mengembangkan suatu teori spiral of silence atau spiral kebisuan yang berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antar pribadi dan persepsi individu atas pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang menjadi pikiran orang lain.
Di sini individu berusaha untuk menghindari isolasi dalam arti sendirian mempertahankan sikap. menurut teori ini, individu akan mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan yang populer dan tidak populer. Jika seseorang beranggapan bahwa pandangannya tidak populer, maka cenderung akan bersikap untuk tidak mengekspresikan pandangannya.
Berdasarkan teori-teori diatas, menggambarkan, bahwa media turut berpengaruh dalam membentuk pola pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat yang berarti juga turut mempengaruhi pembentukan dan perkembangan budaya.
E. Konsep Persepsi
Pengertian persepsi diterangkan Ensiklopedi Indonesia merupakan “proses mental yang dapat menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal dengan jalan asosiasi pada suatu ingatan tertentu, baik secara indera penglihatan, indera perabaan, dan sebagainya sehingga akhirnya bayangan itu disadari.” (Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru Va Hoeve, buku 5, Jakarta, 1984 : 2684)
Berelson dan Steiner memberikan pengertian persepsi sebagaimana dikutip Werner J. Severin dan James W. Tankard (1979 : 129) dalam “Communication Theories, Origins, Methods, Uses” sebagai “ A recent definition states that perception is the ‘complex process by which people select, organize and interpret sensory stimulation into a meaning and coherent picture of the wolrd” (persepsi merupakan suatu proses yang kompleks di mana orang-orang menyeleksi, mengorganisir, menafsirkan rangsangan indrawi ke dalam artian yang bertalian dengan gambaran keadaan saat ini.
Sedangkan Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. (Rakhmat, 1985 :176). Onong Uchjana Effendy juga memberikan pengertian tentang persepsi sebagai penginderaan terhadap suatu kesan yang timbul dalam lingkungannya; penginderaan itu dipengaruhi oleh pengalaman, kebiasaan dan kebutuhan. (Uchjana Effendi, 1977)
Dalam konteks ini, persepsi diberi pengertian sebagai kemampuan seseorang untuk menafsirkan atau menyimpulkan sesuatu pesan secara indrawi. Menafsirkan atau menyimpulkan sesuatu pesan berarti memberikan pendapat atau penilaian terhadap pesan tersebut.
Menurut Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker (1971), bahwa kemampuan seseorang dalam menafsirkan sesuatu pesan dapat dikaji dari selective exposure dan selective perception. Selective exposure adalah kecenderungan seseorang untuk menangkap atau memperhatikan pesan-pesan komunikasi yang sesuai dengan kebutuhannya, sikap, dan kepercayaan, sehingga pesan-pesan yang tak berkaitan dengan dirinya akan dilewatkan begitu saja, tidak diperhatikan. Sedangkan selective perception adalah kecenderungan seseorang untuk menafsirkan pesan-pesan komunikasi menurut sikap dan kepercayaan sendiri atau pengetahuan dan pengalaman yang ada padanya.
F. Konsep Realitas Sosial
Studi mengenai realitas sosial dilakukan oleh ahli sosiologi Peter L.Berger. Menurutnya, realitas sosial adalah suatu kualitas yang terdapat fenomena-fenomena yang kita akui memilik keberadaan yang tidak tergantung pada kehendak kita (Berger dan Thomas Luckman 1989). Menurutnya, ada 4 (empat) asumsi yang mendasari pemikiran tentang kostruksi realitas sosial, yaitu :
- Suatu kejadian (realitas) tidak hadir dengan sendirinya secara obyektif atau dipahami melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa.
- Realitas dapat dipahami melalui kategori-kategori bahasa secara situasional, yang tumbuh dari interaksi social pda saat dan tempat tertentu.
- Bagaimana suatu realitas dapat dipahami, ditentukan oleh konvensi-konvensi komunikasi, yang dilakukan pada saat itu. Oleh karena itu, stabil atau tidaknya pengetahuan lebih tergantung pada variasi kehidupan sosial dan pada realitas obyektif diluar pengalaman.
- Pemahaman terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk banyak aspek-aspek penting lain dari kehidupan. Bagaimana berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya merupakan persoalan bagaimana kita memahami realitas kita. (Sendjaja, 1994:325).
Hanna Adoni dan Mane dalam artikelnya yang berjudul “Media and Construction of Social Reality “ membagi realitas dalam tiga bagian, yaitu :
- Realitas sosial obyektif, yaitu gejala-gejala sosial yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.
- Realitas sosial simbolik , yaitu bentuk-bentuk simbolik dari realitas sosial obyektif, yang biasanya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi dan isi media.
- Realitas sosial subyektif, yaitu realitas sosial yang terbentuk pada diri khalayak yang berasal dari realitas sosial obyektif dan realitas simbolik. Jadi reaitas realitas sosial subyektif merupakan perpaduan antara realitas obyektif dan realitas simbolik.
Individu menerima realitas sosial berdemensi obyektif melalui proses sosialisasi dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tidak semua realitas sosial itu dapat diterima oleh setiap individu, dan setiap individu menerimanya secara terbatas. Keadaan ini menyebabkan individu membentuk realitas sosial baru yang berdimensi subyektif.
Artikel Social Reality and Television News, yang dimuat dalam Journal of Broadcacting, 28 (1), 1984, Adoni, Mane dan Cohen meneliti secara simultan mengenai persepsi terhadap konflik sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Hipotesis utama kajian ini didasarkan pada dependency, bahwa tingkat konstribusi media terhadap persepsi mengenai realitas sosial sebuah fungsi pengalaman langsung dengan beragam fenomena sosial dan ketergantungan pada media sebagai sumber informasi. Menurut Adoni (et all), bahwa berdasar pada sosiologis dan literature media, ada tiga dimensi utama yang sering “bias” dalam pemberitaan televisi terhadap realitas sosial yaitu :
1. Kompleksitas, Fokus pada demensi ini berasal dari argument bahwa liputan berita-berita televisi cenderung untuk menyederhanakan konflik.
Sementara literatur sosiologi beranggapan bahwa beberapa konflik yang terjadi dimasyarkat melalui beberapa tahapa. Televisi hanyamemfokuskan pada tahapan yang tampak saja dan tidak mengungkapkan hal mendasar yaitu penyebab kejadian. Menurut Murdock tipe penyederhanaan ini merupakan hasil dari ‘orientasi kejadian’
2. Intensitas. Dimensi ini berasal dari anggapan bahwa berita-berita televisi cenderung hanya menyajikan dengan lebih mendalam peristiwa konflik sosial. Menurut Tuckman contoh liputan berita yang mengkedepankan intensitas seperti liputan mengenai kerusuhan. Padahal selama priode kerusuhan akan ada masa ketenangan, yang dalam laporan berita biasanya tidak memperhatikan hal ini. Menurut Stuart Hall dalam artikel “A word at one with it self” mengatakan bahwa penggambaran konflik sosial di media massa cenderung menggambarkan actuality without contex dan hanya menekankan pada nada kesan yang gamblang.
3. Solvabilitas. Demensi ini menekankan pada kesulitan pemecahan konflik-sosial. Televisi sering menyajikan berita-berita mengenai konflik sosial sebagai kejadian yang dengan segera dapat diatasi. Alferd Schutz menyatakan bahwa, realitas kehidupan sehari-hari saya bukan semata-mata realitas pribadi, tapi berawal dari hubungan antara subyek yang dibagi, dialami, diartikan di antara teman-teman saya. Singkatnya ini adalah suatu realitas bagi kami semua. Dalam situasi biografis yang unik, dimana saya menemukan diri saya dalam realitas pada suatu saat tertentu dari eksistensi saya, hanyalah bagian sangat kecil dari realitas yang dibentuk secara bersama melalui hubungan dengan orang lain. (Sendjaja, 1994)
Berger dan Luckman dalam buku tafsir sosial atas kenyataan (1990) berpendapat bawa proses terbentuknya realitas sosial adalah proses dialektika dimana manusia sebagi produk masyarakat dan masyarakat sebagai produk manusia.
Proses dialektika tercipta dari tiga unsur yaitu :
1. Obyektivitas. Interaksi sosial dalam dunia inter-subyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusional. Obyektivitas artinya memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dua bersama.
2. Internalisasi. Dunia sosial yang telah diobyektifikasikan, diasumsikan kembali kedalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi.
3. Eksternalisasi. Penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. (Peter L.Berger dan Luckman, 1986).
Ogles (1978) mengungkapkan bahwa realitas sosial mengacu pada orientasi individu terhadap dunia nyata yang sebagian berdasarkan pengalaman masa lampau dan observasi sekarang dari individu sendiri dan sebagian lagi berdasarkan pada pengalaman individu yang diperoleh dari saluran antar pribadi dan saluran komunikasi massa.
G. Televisi Sebagai Pembentuk Realitas Sosial.
Salah satu kajian mengenai tradisi efek media yang berkaitan dengan realitas sosial oleh media adalah analisis kultivasi yang dikembangkan oleh George Gerbner dengan menggunakan indikator budaya.
Awal kajian analisis kultivasi, hanya memfokuskan pada fungsi dan sifat kekerasan di televisi. Meskipun kekerasan terutama berdasarkan pada kekuasaan dunia pertevisian, implikasi serius untuk control sosial dan untuk konfirmasi diabadikan oleh kelompok minoritas. (Gerbner, Gross, Signorielli, Morgan & Jackson Beck, 1979, Morgan, 1983). Pendekatan yang menggunakan indikator budaya meliputi tiga cabang penelitian yaitu :
- Proses analisis institusional adalah penyelidikan bentuk dan sistematisasi dari kebijakan langsung aliran pesan secara besar-besaran.
- Analisis sistem pesan meliputi pengujian yang sistematis, sepanjang minggu dengan sample drama televisi dalam tingkat yang dapat dipercaya dan trend dunia kehadiran televisi ditonton oleh khalayak.
- Analisis kultivasi menguji respon dengan memberikan pertanyaan mengenai realitas sosial antara sejumlah pengguna televisi. penelitian ini menentukan apakah semakin banyak waktu untuk menonton televisi menjadikan persepsi penonton tentang dunianya merupakan refleksi dunia televisi.
George Gerbner dalam “Cultivation Analysis” : New Direction In Media Effect Reseach, melihat bahwa kultivasi berkaitan erat dengan persepsi mengenai realitas sosial. Televisi memberi kontribusi yang spesifik dan terukur pada konsepsi penonton mengenai realitas. Hipotesis utama dari Gerbner mengenai analisis kultivasi adalah bahwa semakin lama seseorang menghabiskan waktunya di depan televisi akan lebih cenderung membentuk konsepsi realitas soaial yang ditiru diri gambaran televise (Gross dan Morgan, 1985) atau semakin sering orang menonton televisi, maka persepsinya mengenai realitas sosial semakin mirip dengan dunia televisi.
Untuk menguji hipotesis tersebut, Gerbner dan koleganya menganalisa data dari orang dewasa, remaja dan anak-anak perkotaan di Amerika Serikat, dengan menggunakan data dari National Opinion Research Centre (NORC).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemirsa berat (heavy viewers), skor tertingginya ada pada indeks “dunia suram” dibanding dengan pemirsa ringan (light viewers). Data dari orang dewasa dan anak-anak menunjukan bahwa pemirsa berat lebih curiga dan tidak percaya pada orang lain. Serangkaian studi memperkuat penemuan ini dan menemukan bahwa pemirsa berat lebih beranggapan meratanya kelaziman kekerasan dalam masyarakat dan peluang mereka sendiri untuk terlibat dalam kekerasan. (Gerbner & Assosiasi, 1978).
Gerbner mengembangkan dinamika kultivasi dari konsep realitas sosial. Untuk itu Gerbner menggunakan mainstreaming dan resonance.
Dalam tulisan “The Mainstreaming of America: Violence Profile No. 11, Gerbner dan Assosiasi mengungkapkan penelitian yang terdiri dari dua bagian yang saling berhubungan yaitu analisis system pesan dan analisis kultivasi. Analisis sistem pesan adalah monitoring tahunan dari sample prime time dan jaringan dramatik akhir pekan. Sedang analisis kultivasi adalah penyelidikan tentang konsepsi pemirsa tentang realitas sosial yang terjadi akibat adanya pemberitaan yang berulang-ulang dan terus menerus dari televisi.
Konsep mainstreaming adalah kesamaan pandangan diantara pemirsa berat (heavy viewers). Mainstreaming merupakan pertukaran kebiasaan antara pemirsa berat dalam kelompok demografis, dimana pemirsa ringan (light viewers) memiliki pandangan yang berbeda.
Konsep resonance adalah suatu keadaan, dimana isi media massa dianggap sama dengan realitas. Sebagai contoh, pemirsa yang tinggal di daerah yang memiliki tingkat kejahatan yang tinggi akan beranggapan bahwa apa yang disajikan televisi adalah sama dengan dunia yang sebenarnya. Realitas televisi dan realitas yang sebenarnya menghasilkan koherensi yang kuat dan pesan televisi akan mengkultivasi secara signifikan. Analisis kultivasi menembus pesan budaya, memunculkan image bahwa televise dapat mengkultivasi kepercayaan ideologi dan pandangan dunia.
Morgan dan Signorielli melihat bahwa, televisi lebih berperan dalam pembentukan persepsi dibanding dengan media lain. Menurut Morgan : Analisa kultivasi mencoba untuk memastikan, jika seseorang banyak menghabiskan waktunya untuk menonton televisi, maka orang akan cenderung untuk menerima dunia nyata seperti yang direfleksikan dan disampaikan secara berulang-ulang oleh televisi.
Elizabeth M.Perse, melakukan kajian mengenai “Cultivation And Involvement With Local television News” tahun 1990. Kajian ini menyelidiki level individu yang menghubungkan terpaan televisi, keterlibatan dan persepsi individual mengenai keamanan diri. Hasilnya menunjukkan bahwa perhatian terhadap berita-berita positip signifikan sebagai penyumbang kultivasi akan persepsi keamanan diri.
H. Konsep Kekerasan di Televisi
Gerbner, Larry Gross, Nancy dan assosiasinya dalam penelitian “ The Demonstration of Power” : Violence Profile No.10 tahun1980, memfokuskan pada analisis program (antara lain drama televisi) sekitar tahun 1978 – 1979 dan tahun-tahun sebelumnya. Cerita-cerita televisi yang berisi kekerasan yang penayangannya dilakukan dengan frekwensi yang semakin tinggi dan berulang-ulang, utamanya dalam program yang ditujukan untuk anak-anak.
Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini adalah :
Kekerasan merupakan tampilan drama televisi, yang munculnya sering dan konsisten. Kekerasan yang dimaksud sebagai ekspresi terbuka darikekuatan fisik dengan atau tanpa senjata, terhadap diri sendiri atau orang lain, memaksakan tindakan terhadap orang lain. Tampaknya ada ketakutan yang dapat dijustifikasi, bahwa menonton kekerasan di televisi dapat membuat orang-orang utamanya anak-anak, menjadi lebih sering melakukan tindakan kekerasan.
Penelitian ini memperlihatkan korelasi positip antara menonton kekerasan dan agresi diantara remaja dalam kehidupan nyata. Faktor-faktor ini tidak mempengaruhi jenis kelamin dan prestasi di sekolah. Selain itu ditemukan juga, bahwa penonton usia muda yang sering menonton adegan kekerasan menyetujui dan menganggap lumrah untuk memukul orang jika kita sedang marah pada seseorang dengan alasan yang tepat.
Dalam penelitian mengenai demonstrasi kekuatan ini, dengan tetap menggunakan indikator budaya, ada dua asumsi yang mendasari penelitian Gerbner dan assosiasinya :
- Iklan televisi tidak seperti media lain, menampilkan keseluruh dunia nyata dari cerita yang saling berkaitan, yang diproduksi untuk susunan spesifikasi pasar yang lama.
- Kebanyakan penonton televisi, menonton dengan cara yang tidak selektif dan sesuai dengan waktu, dibanding dengan mereka yang menonton televisi berdasarkan program. Menonton televisi dianggap sebagai hal ritual seperti agama, kecuali bahwa hal ini dilakukan secara lebih teratur.
Gerbner (1980) menggabungkan kultivasi dengan sifat dan isi yang digambarkan televisi yang berulang-ulang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan dan perilaku yang lazim juga terhadap sifat khalayak baik penonton instrumen maupun ritual. Gerbner menghubungkan antara kultivasi dengan sejumlah tayangan kekerasan. Analisa yang dilakukan memperlihatkan remaja heavy viewers melihat dunia dengan penuh kekerasan dan mereka mengekspresikan ketakutan yang lebih besar dibanding light viewers.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa heavy viewers mempunyai persepsi yang berbeda mengenai realitas sosial dengan light viewers dengan catatan, bahwa faktor lain diasumsikan tetap.
Frederick Williams (1989) mengomentari hasil penelitian dengan mengatakan heavy viewers seringkali mempunyai sikap yang streotipe tentang peran jenis kelamin, dokter, bandit ata tokoh-tokoh lain yang sering muncul dalam serial televisi.
Menurut Solomon (1983) berdasarkan hasil riset yang dilakukannya, bahwa semakin streotip persepsi atas media, maka akan sedikit usaha yang dibutuhkan untuk membuat dan mengolah persepsi terhadap tayangan media.
I. Konsep Pornografi
Dalam konteks definisi mengenai pornografi, Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), mendefinisikan tentang porno, kp dp pornografi; cabul. Pornografi; (Ing) pelukisan baik dengan gambar atau tulisan secara erotis dengan tujuan membangkitkan nafsu berahi dengan menonjolkan semua yang berbau seks; ( KUBI, J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 2001 : 1081).
Menurut Webster’s New World Dictionary, kata “pornografi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua suku kata yaitu Porne dan Graphein. Artinya porne adalah a prostitute; graphein adalah to write (dari kata benda graphe : a drawing, writing). Pornographos adalah writing about prostitutes (penggambaran mengenai pelacuran). Secara harfiah, kamus ini memberikan definisi tentang pornografi sebagai “writing, pictures etc. intended primarily to arouse sexual desire.” Kemudian “ The production of such writings, pictures etc.”
Jurisprudensi Mahkamah Agung RI menjelakan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai – berdasarkan standar nilai yang berlaku saat itu – materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembacanya. Di bidang hukum sering digunakan kata “merangsang” atau “membangkitkan nafsu birahi” sebagai unsur pokok pengertian porno. Hakim yang menyidangkan kasus suatu majalah, mengemukakan bahwa salah satu kategori porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang membaca atau melihatnya. Pengertian ini sama dengan definisi pornografi menurut The Encyclopedia Americana yaitu gambar, tulisan atau bentuk komunikasi lain yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual. (Menkominfo,2005)
Berdasarkan definisi, pengertian pornografi tersebut, maka dapat dikatakan kata kunci bahwa sesuatu itu dikategorikan porno adalah “membangkitkan nafsu seksual”. Apa yang dapat membangkitkan nafsu birahi ? adalah pelukisan baik dengan gambar atau tulisan secara erotis dengan tujuan membangkitkan nafsu berahi dengan menonjolkan semua yang berbau seks; tulisan.
Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (ayat 1 dan 2) mendefinisikan pornografi sebagai “kegiatan menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan (materi pornogarfi) di muka umum”.
Sementara itu berbagai temuan ilmiah tentang efek, pengaruh dan dampak pornografi terhadap individu dan masyarakat, sebetulnya sudah tersedia dalam literatur sejak tahun 1940-an, namun jarang sekali disebut-sebut atau dikutip dalam berbagai tulisan yang mempersoalkan pornografi. Di Indonesia sendiri, hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan sikap permisif berbagai kelompok masyarakat terhadap pornografi, termasuk pelajar dan mahasiswa. Misalnya, 28% mahasiswa dan 18% mahasiswi di Universitas Udayana setuju hubungan seks pra nikah, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Pers Kampus universitas tersebut pada tahun 1993. Sementara itu, dari 497 responden siswa salah satu SMA di Yogjakarta, 22% diantaranya setuju terhadap hubungan seks diluar nikah. Kemudian, satu penelitian yang dilaksanakan oleh BAPPENKAR Tk.I Jawa Timur menunjukkan hasil bahwa 42 remaja nakal mengaku pernah melakukan hubungan seks.
Senada dengan temuan itu, hasil penelitian kecil yang dilaksanakan majalah Retorika, media mahasiswa FISIP UNAIR, menunjukkan bahwa para mahasiswa dan mahasiswi di lingkungan kampus itu mengakui adanya praktek prostitusi yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswi. (Gayatri: 2005).
Sumber : Studi Dampak Tayangan Kekerasan dan Pornografi di Televisi, Puslitbang APTIKA IKP Balitbang SDM Kemkominfo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar