A.  Perkembangan  Media  Massa
Riset  mengenai  efek media  massa  terus  mengalami perkembangan  sejalan dengan  semakin  pesatnya  kemajuan   teknologi  komunikasi  massa.  Efek  yang  ditimbulkan  oleh  media   massa  merupakan  konsekuensi  yang  harus  diterima  khalayak  sebagai  individu  yang  mengkonsumsi  media  dan  terkena  terpaan  media   massa.
Sejauhmana efek tersebut bersifat  konstruktif ataupun destruktif, berikut ini dikemukakan berbagai  perkembangan riset mengenai efek media dan teori-teori yang berhubungan  dengan terpaan media massa.
Salah  satu  revolusi  dramatik  yang   dialami  oleh  umat  manusia  adalah  revolusi  informasi.  Revolusi   informasi  telah  membawa  ke  arah  perkembangan  industri  media   massa  yang  menjadi  pemicu  peubahan tradisi  umat  manusia  dari   tradisi  lisan  menjadi  tulisan.  Perubahan  sosial masyarakat  dengan   adanya  perkembangan  media  massa,  memunculkan  kesadaran  bagi   manusia  untuk  turut  aktif dalam  menentukan  seperti  apa masyarakat   harus dibentuk.  Kesadaran  kultur  baru manusia  akibat  perkembangan   industri  media  massa  membeikan  suatu  era  baru  yaitu   pembentukan  masyarakat  modern.
Kaitannya  dengan  perkembangan  media   massa,  Mc.Quail  (1987:  9-18)  membahas  empat  unsur utama  yaitu,   teknologi,  situasi  politik,  sosial  dan  ekonomi masyarakat.   Keseluruhan berinteraksi  dengan  cara  yang  berbeda  dan  dengan   keunggulan  masing-masing  dan  dalam  media   yang  berbeda.  Menurut   perkembangannya,  bentuk-bentuk  sarana media  dimulai  dengan  media   cetak,  film,  siaran  radio  dan  televisi  sampai  munculnya  media   elektronik  baru  seperti  teleteks,  videoteks,  video  komputer,   internet  dan  yang  lainnya.  Lahirnya  media  cetak  sebagai  media     modern,     diawali     dengan penemuan mesin cetak oleh J.  Guthenberg. Menurut McQuail,  awalnya  percetakan  buku  hanyalah   merupakan  upaya  pengunaan  alat  teknik  untuk  memproduksi  teks   yang  sama,  secara  besar-besaran.
Pada  abad  ketujuh  belas  muncul   surat  kabar  yang  merupakan  gabungan  antara  pihak  percetakan   dengan  pihak  penerbitan.  Dibanding  dengan  buku  cetak,  surat  kabar  memiliki  tingkat  inovasi  yang  lebih tinggi.  Kekhususan   surat  kabar  dibanding  dengan  sarana  komunikasi  budaya  lainnya   terletak  pada  individualisme,  berorientasi  pada  kenyataan,   kegunaan  dan  sekularitas  serta  kecocokan  dengan  tuntutan   kebutuhan kelas  sosial  yang  baru.  Sejalan  dengan  perkembangannya   maka  surat  kabar  menjadi  komersil  dan  mempunyai  dua  fungsi   umum  yaitu  :
- Merupakan  sumber  informasi  tentang   apa  yang  sedang  terjadi  di  dunia dan  daerah  setempat.  Fungsi   ini  tidak  hanya  terbatas  pada  tajuk          rencana  tetapi  juga   berita  mengenai  politik,  ekonomi  dan  sosial.
- Sebagai  sarana  hiburan,  untuk   fungsi  ini  biasanya  dilakukan  oleh Kelompok muda dan kelompok   dengan  tingkat  pendidikan  yang  terbatas,  yang  membaca  rubrik   seni,  olah  raga  dan  komik.  (Devito,  1997:  511).
Sebelum  kemunculan  televisi,  radio   merupakan   sistem  komunikasi  yang  paling  dominan.  Hal  yang   mesti  digarisbawahi  bahwa  kemunculan  radio  merupakan  teknologi   yang  mencari  kegunaan  dan  bukan  lahir  sebagai  respon  terhadap   sesuatu  kebutuhan  pelayanan  baru. (McQuail,  1987:15).  Menurut   Raymond  Williams  (1975)  radio  dan  televisi  merupakan  sistem  yang  dirancang  untuk  kepentingan  transmisi  dan  penerimaan  yang   merupakan  proses  abstrak, yang  batasan  isinya  sangat  terbatas   atau  bahkan  sama  sekali tidak  ada.
Setelah  kemunculan  televisi,  maka   peran  radio  mulai  berkurang.  Televisi  menjadi  media  yang   poluler  dan  tersebar  dipelosok  penjuru  dunia  termasuk  Indonesia.   Dari  berbagai  media  yang  hadir,  televisi  merupakan  merupakan   media  yang  sangat  fleksibel  dan  ideal  sekaligus  unik.  Televisi   masuk  hampir  ke setiap  rumah dan  memberikan  pengajaran,  tontonan   juga  tuntunan  kepada  setiap  individu  sejak  bayi  hingga  dewasa.
B.  Fungsi  Media  Bagi  Individu  dan  Masyarakat
Seperti  telah  diketahui  bahwa  media   mempunyai  fungsi  yang  koherent  dalam  melakukan  perannya  sebagai   saluran  mediasi.  Menurut  Lasswell  (1948),  ada  tiga  fungsi  utama   media massa  dalam  masyarakat,  yaitu  :  (1)  pengawas  lingkungan (survaillance  of  environment),  (2)  korelasi antar  bagian-bagian  dalam  masyarakat  dalam  memberikan  reaksi  terhadap  lingkungan  (correlation  of  the  parts  of  society  in  responding  to the  environment),   (3)  Transmisi  warisan  sosial  budaya,  yang dilakukan  secara   berkesinambungan yang  berhubungan  dengan  penyampaian  informasi  dari  generasi  ke  generasi  berikutnya  (Transmition of  the  social  heritage  of  generation  to  the  next).    Wright  (1986)  menambahkan  fungsi  media  keempat  ke  dalam  daftar   yang  telah  dibuat  oleh  Lasswell  (1948),  yaitu  sebagai  sarana  untuk  memperoleh  hiburan,  disamping  ia  juga melihat adanya  fungsi   atau  efek  positif  dan  disfungsi  atau  efek  negatif media.   Kemudian  Rivers,  Schramm  dan  Clifford  (1980)  menambahkan  satu   fungsi  lagi  yaitu  sarana  iklan.
Lazarfeld  dan  Merton  (1951)  mengemukakan  fungsi  media lainnya,  yaitu  dalam  pemberian  status  (status  conferral).   Menurutnya  jika  seseorang  menjadi  penting,  maka akan   diperhatikan  oleh  media,  dan jika  seorang  diperhatikan  oleh   media,  maka  pasti seseorang  tersebut  adalah  orang  penting.
Mac Quail  dan  kawan-kawan  (1970)  menyimpulkan  fungsi  media  bagi  individu  sebagai  berikut :
1.  Berfungsi  sebagai  informasi.  Disini  media  dijadikan  sarana,  antara lain untuk  mencari  berita  tentang   perisriwa  dan  kondisi yang  berkaitan  dengan    lingkungan   terdekat,  masyarakat  dan  dunia.  Disamping  itu,  media  dapat  dijadikan  tempat  untuk  memperoleh  bimbingan  yang  menyangkut   berbagai  masalah  – masalah  praktis,  pendapat  dan  segala  hal  yang  berhubungan  dengan  penentuan  pemilihan.  Media  juga  dapat   memuaskan  rasa  ingin  tahu  dan  minat  umum  serta untuk  memperoleh   rasa  damai  melalui  penambahan  pengetahuan.
2.  Berfungsi  sebagai  identitas  pribadi,   dengan  menemukan  penunjang   nilai- nilai  pribadi,  menemukan   model  perilaku  sehingga  meningkatkan pemahaman tentang   diri   sendiri.
3. Berfungsi  sebagai  integrasi  dan interaksi  sosial,   dengan  memperoleh  pengetahuan  tentang  keadaan  orang  lain,  akan   menimbulkan  rasa  empati     dalam  lingkungan   sosial,  juga   mengidentifikasikan  diri  dengan  orang lain  dan   meningkatkan rasa   kemampuan.  Media  juga dapat  dijadikan  sebagai  bahan  percakapan    dalam  berinteraksi  sosial,  memperluas  pergaulan,  dan  membantu   menjalankan  peran  sosial  dalam  masyarakat  dan  memungkinkan   seseorang untuk menghubungi  sanak  keluarga,  teman  dan  masyarakat.
4. Berfungsi sebagai  hiburan,  antara  lain  media  yang  menyediakan  hiburan  untuk  melepaskan   diri  dari  rutinitas  kegiatan,  bersantai  untuk  memperoleh  kenikmatan  jiwa  dan estetis,  menghilangkan  kepenatan,  mengisi   waktu,  meluapkan  emosi.
Josep  Devito  (1997)  mengungkapkan,  bahwa  salah  satu  fungsi  media  yang  banyak  dilupakan  adalah  fungsi  membius  (narcotizing).   Hal  ini  dilihat,  jika  media  menyajikan  suatu informasi,   penerima  akan  percaya  bahwa  tindakan tertentu  telah  diambil.   Salah  satu  contoh  fungsi yang membius  adalah  kehadiran  telenovela   di televisi  yang  ditayangkan  secara  bersambung  setiap  hari,   dengan  tema  perselingkuhan,  kekerasan  dan  berbagai  tema   sterotipe,  yang  membius  khalayak  untuk  terus  mengikuti  tayangan   tersebut.
Katz  Blumer  dan  Gurevitch  (1974)   mengemukakan  bahwa  fungsi-fungsi  tersebut,  belum  cukup   menggambarkan  keseluruhan  jajaran  fungsi-fungsi  yang  mungkin  ada.  Oleh  sebab  itu  para peneliti  mencoba  mengumpulkan  sebanyak   mungkin  fungsi-fungsi  media  dalam  masyarakat.
Penggambaran mengenai  fungsi-fungsi   media,  erat kaitannya  dengan  penggunaan  media  bagi  individu  dan   masyarakat,  seperti  tentang  apa  yang  mendorong  individu   memfaatkan  media  dan  apakah  media  massa  dapat  memenuhi   kebutuhan  individu.  Katz,  Blumer  dan  Gurevitch  (1974) menggunakan   pendekatan  uses and gratification,  yang  meneliti   kebutuhan  dari  sudut psikologi  dan  sosial yang  menimbulkan   harapan  tertentu  dari,  dan mengakibatkan  pola  terpaan  media  yang   berlainan  diantara  individu.  Ada  beberapa  asumsi  dasar  yang   dikemukakannya  melalui  pendekatan uses and gratification  yaitu :
- Khalayak  dianggap  aktif, artinya   sebagian  penting  dari  penggunaan media  massa diasumsikan  akan   mempunyai  tujuan  atau  akan  memberi  manfaat.
- Dalam  proses  komunikasi  massa   banyak  inisiatif  untuk  mengaitkan  pemuasan kebutuhan  dengan   pemilihan  media  terletak  pada  anggota  khalayak.
- Media  massa  harus  bersaing  dengan   sumber-sumber  lain  untuk  memuaskan  kebutuhannya.  Kebutuhan  yang   dipenuhi  media hanyalah  bagian  dari  rentangan  kebutuhan  manusia   yang  lebih  luas.  Bagaimana  kebutuhan  ini  terpenuhi  melalui   konsumsi  media  amat  tergantung  kepada  perilaku  khlayak   bersangkutan.
- Banyak tujuan  dalam  memilih  media   massa  yang  disimpulkan  dari  data yang diberikan oleh  anggota   khalayak;  artinya  orang  dianggap  cukup  mengerti  untuk  melaporkan   kepentingan  dan  motif  pada  situasi  tertentu.
- Penilaian  tentang arti  kultural  dari   media  massa  harus  ditangguhkan  sebelum  diteliti  lebih  dahulu   orientasi  khalayak.  (Blumer dan Katz,  1974).
Rubin  (1993)  mengemukakan  bahwa  ada   2  tipe  orientasi  berbeda  dari  khalayak   dalam  menggunakan   media,  yaitu  media  sebagai  “ritualized”  penggunaan  media  berdasarkan  kebiasaan  (habit)  dari  “instrument”  yaitu  penggunaan  media yang dilakukan berdasarkan  pemilihan  secara  selektif.
Katz,  Gurevit  dan Hazz  (1973)   menyatakan  bahwa  khalayak  dalam  menggunakan  media  adalah  dengan   alasan  untuk  pemenuhan  kebutuhan  (motivasi)  yaitu :
- Motif  kognitif  yaitu  menekankan   pada  adanya kebutuhan  manusia  akan informasi dan kebutuhan  untuk   mencapai  tingkat  emosional  tertentu.
- Motif  afektif  menekankan  pada  aspek  perasaan yang  berhubungan  dengan  estetika,  kesenangan  dan  pengalaman  emosional.
- Integrasi  pribadi  yaitu kebutuhan   yang  berhubungan  dengan  kredibilitas,  keyakinan  dan  stabilitas   serta  status  secara  individu.
- Integrasi  sosial  yaitu  kebutuhan  yang  berhubungan  dengan  hubungan  keluarga,  sahabat  dan  dunia  luar.
- Pelarian,  yang  berhubungan  dengan  keinginan  untuk   menghindarkan  diri  dari  tekanan,  meredakan  ketgangan  dan   keinginan  untuk  mengalihkan  perhatian.
C. Pengaruh Media Massa Terhadap Khalayak
Dalam  proses  komunikasi  pada  awalnya   khalayak  atau  penerima  pesan  dianggap  sebagai  individu-individu   yang  pasif  dan  menerima  pesan  apapun  yang  disampaikan  oleh   media  massa,  karena  itu  riset  komunikasi  massa  umumnya   berkaitan  dengan  efek  komunikasi massa.  Dalam  melihat efek   komunikasi  massa  terhadap  individu  atau  khalayak  ada  tiga teori   yang  digunakan  yaitu :
1.  Stimulus- Respon  
Prinsip  stimulus  respon  pada dasarnya   merupakan suatu  prinsip  belajar yang sederhana,  dimana  efek   dianggap reaksi   terhadap    stimulus     tertentu. Elemen-elemen utama  dari teori ini adalah, pesan (stimulus),  penerima (receiver) dan   efek  (respon).  Prinsip  stimulus – respon  merupakan  dasar  dari   teori   jarum hipodemik (hypodermik needdle theory).  Isi   media  dipandang  sebagai  obat  yang  disuntikan  kedalam  pembuluh   darah  khalayak,  dan  diasumsi akan  bereaksi  sesuai  dengan  apa   yang  diharapkan.  (Sendjaja:  1998:189).  Stimulus respon  juga   sejalan  dengan  Bullet Theory  yang  beranggapan bahwa,  proses   komunikasi  dapat  dilihat  seperti  peluru  yang  dapat menghantarkan   ide-ide,  perasaan  atau  pengetahuan  atau  motivasi  hampir  secara  otomatis  dari  satu  individu  ke  individu  lainnya (Schramm dan  Roberts,  1974).
De  Fleur  (1970)  melakukan  modifikasi  terhadap  teori  stimulus-respon dengan  teori individual difference   atau  perbandingan  individu.  Di sini  diasumsikan  bahwa   pesan-pesan  media  berisi  stimulus  tertentu  yang  berinteraksi  secara  berbeda-beda  dengan  karakteristik  pribadi  para  anggota   khalayak.
2.   Komunikasi dua tahap
Pada tahun 1940 Lazarfeld dan kawan-kawan  melakukan penelitian mengenai efek media dalam kampanye pemilihan  Presiden Amerika Serikat di kota Ohio. Hasil penelitinnya menunjukkan,  bahwa efek media tidak sehebat seperti dugaan selama ini, sebagaimana  yang ditunjukkan dalam teori komunikasi massa. Kalaupun ada pengaruh,  maka pengaruh itupun sangat kecil. Kebanyakan pemilih menentukan  pilihannya dari hasil berkomunikasi dengan kawan, tetangga, pemimpin  serikat kerja, suami atau lainnya.
Kesimpulan penelitian tersebut adalah :
- Peran media hanya mempertegas pilihan yang sudah ditentukan sebelumnya dan bukan mempengaruhi.
- Pengaruh media atas keputusan pemilih dalam menentukan  calon yang akan dipilih ternyata sangat kecil.
- Perubahan sikap yang terjadi terhadap calon yang akan dipilih  ternyata juga dipengaruh ikatan atau tekanan kelompok agama tertentu,  jadi bukan karena pengaruh media, karena media massa ternyata hampir  tidak berpengaruh. Media massa lebih berfungsi sebagai penguat keyakinan  yang sudah ada, yang ternyata lebih berpengaruh adalah pemuka pendapat  (opinion leader) melalui komunikasi antar pribadi.
Berdasarkan temuannya itu, Lazarfeld menggagas hipotesisi baru yang disebut “ two – step – flow” atau komunikasi dua tahap, yang sangat popular sejak tahun 1950-an.
D.    Pengaruh Media Massa Terhadap Masyarakat Dan Budaya
Penelitian mengenai efek media massa  mengalami perkembangan, setelah De Fleur (1970) mengembangkan pemikiran  mengenai efek media, dengan memasukkan variabel norma budaya. Teori ini  disebut “cultural norms”  yang beranggapan bahwa media tidak  hanya memiliki efek langsung terhadap individu tetapi juga mempengaruh  kultur, pengetahuan kolektif, dan norma-norma serta nilai-nilai dalam  suatu masyarakat.
Bagian teori ini, meneliti proses efek  yang memiliki karakteristik yaitu efek yang berlangsung untuk jangka  waktu yang lama, umumnya tidak terencana dan bersifat tidak langsung dan  kolektif. Beberapa teori penting yang berkaitan dengan norma budaya  seperti teori Agenda Setting, teori Dependensi, teori Spiral of Silence dan teori Kultivasi.
Diawal tahun 1970-an  McCombs mengkaji efek media massa terhadap khalayak dan memperkenalkan suatu teori yang disebut “ Agenda Setting”  . Asumsi dari teori ini bahwa pengaruh media tidak langsung tetapi apa  yang membuat manusia berpikir, ini adalah penting dan kemudian  memikirkannya. Bahwa media mempengaruhi manusia tidak dengan mengatakan  apa yang dipikirkan tetapi bercerita mengenai apa yang dipikirkan. Inti  pemikiran dari teori agenda setting berkaitan dengan fungsi belajar dan  media massa. Khalayak tidak hanya mempelajari isu-isu yang diberitakan  media, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan  pada suatu isu atau topik berdasarkan cara media memberikan penekanan  terhadap isu tersebut.
Berbagai penelitian mengenai agenda  setting, menunjukkan adanya perbedaan hasil penelitian diantara  peneliti. Chaim H.Eyal menulis bahwa penelitian mengenai peran agenda  setting pada televisi berbeda dengan surat kabar. Tintion, Benton dan  Fraizer serta Muller menemukan bahwa agenda media cetak seperti surat  kabar lebih sering ditentukan sesuai dengan agenda publik dibanding  dengan media televisi.  Sedang McCombs dan Shaw (1972) menemukan tidak  ada perbedaan antara agenda setting televisi dan surat kabar.
Penelitian yang dilakukan oleh Palmgreen  menemukan dukungan parsial terhadap hipotesis bahwa surat kabar  menunjukkan efek agenda setting yang lebih kuat dibanding televisi.  Kajian mengenai isi televisi tentang pemilihan Presiden Amerika Serikat  pada tahun 1972 yang dilakukan oleh Patterson dan McClure menyimpulkan  bahwa televisi memiliki pengaruh yang minimal terhadap kesadaran publik  tentang isu-isu dan persepsi mengenai citra kandidat presiden.  Sebaliknya iklan politik dinilai sebagai faktor yang meningkatkan  kesadaran khalayak terhadap posisi kandidat Presiden. Hal ini sejalan  dengan penemuan McCombs dan Bowers bahwa iklan politik pada televisi  memainkan peran agenda setting yang berbeda dengan informasi televisi.
Hipotesis agenda setting yang dijelaskan  oleh Carey (1976) yang mengkaji agenda setting dari tiga jaringan  televisi nasional, tiga majalah national dan tiga surat kabar nasional,  menemukan bahwa liputan pers lintas media berlaku sangat konsisten, dan  isu agenda media sama dengan isu agenda publik. Jika efek yang  dihasilkan tidak sama, maka pengaruh yang berbeda dari kedua jenis media  dijelaskan oleh faktor teknologi, format dan pola penggunaan media oleh  khalayak. Penjelasan mengenai teori agenda setting, dapat diketahui  sejauhmana media massa baik itu surat kabar, televisi ataupun media  lainnya, dapat mempengaruhi masyarakat dan budayanya.
Weaver dan Buddeman (1955) membuat studi  ulang mengenai penggunaan dan efek surat kabar dan televisi. Hasilnya  ditemukan bahwa orang mengangap surat kabar dan televisi bermanfaat dan  kedua media tersebut digunakan untuk saling melengkapi dalam memenuhi  kebutuhan pengalihan (diversion) dan pengetahuan (knowledge).
Sandra B.Rokeach dan Melvin (1972)  mengembangkan suatu teori yang disebut sebagai teori dependensi. Fokus  teori ini pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur  kecenderungan terjadinya suatu efek media massa.
Asumsi dasar dari teori ini adalah :
- Dalam masyarakat modern, khalayak menjadi tergantung pada media          massa sebagai sumber informasi.
- Ketergantungan pada media massa sebagai sumber informasi       berpengaruh pada dampak kognitif dan afektif yang terjadi pada   khalayak.
- Ketergantungan khalayak terhadap media massa dipengaruhi oleh  sejumlah kondisi struktural terutama yang berkaitan dengan tingkat  stabilitas.
- Kondisi sruktural masyarakat ini secara timbal balik akan  berpengaruh terhadap apa yag dilakukan media  (fungsi) dalam hal jumlah,  diversitas, reabilitas dan otoritasnya dalam pelayanan infomasi kepada  khalayak.
Selanjutnya efek yang mungkin dipelajari dari teori dependensi ini adalah :
-   “Efek Kognitif”, seperti menciptakan atau menghilangkan ambiguitas dan   pembentukan sikap.
- “Efek Afektif”, seperti menciptakan ketakutan ataupun kecemasan, meningkatkan atau menurunkan dukungan moral.
- “Efek Behavioral”, seperti mengaktifkan  atau meredakan pembentukan    isu    tertentu atau mencarikan  penyelesaiannya. (Sendjaja, 1998: 201).
Menurut Steven M.Chaffee (dalam Wilhoit dan Harold de Bock, 1980:78) ada tiga pendekatan dalam melihat efek media massa yaitu :
- Kelompok, masyarakat atau bangsanya melihat efek media massa itu  sendiri.
- Melihat jenis perubahan yang terjadi  pada diri khalayak, komunikasi massa, penerimaan informasi, perubahan  perasaan atau sikap, perubahan perilaku yang diistilahkan sebagai  perubahan kognitif, afektif dan behavioral.
- Melihat satuan observasi yang dikenai  efek media massa baik individu, Chaffee juga menyebutkan lima efek media  masa yaitu efek ekonomis, efek sosial, efek pada penjadwalan kegiatan,  efek pada penyaluran/penghilangan rasa tertentu dan efek perasaan orang  terhadap media.
Klapper (1960), melaporkan hasil  penelitiannya mengenai efek atau pengaruh media massa, dalam kaitannya  dengan pembentukan sikap yaitu :
- Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh  faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif,  keanggotaan kelompok (atau hal lain yang bukan faktor personal).
- Komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, meskipun terkadang berfungsi sebagai agen pengubah.
- Jika komunkasi massa menimbulkan  perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum  terjadi, daripada perubahan sikap secara keseluruhan.
- Komunikasi massa cukup efektif dalam  mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat individu lemah,  misalnya pada iklan komersil.
- Komunikasi massa efektif dalam  menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada  predisposisi yang harus diperkuat. (Oskamp, 1977).
Ball Rokeach dan DeFleur (1976) mengemukakan bahwa ada tiga komponen yaitu audiens, system media dan system social  yang saling berhubungan satu dengan lainnya dan sifat ini berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya
Sosiolog Jerman Elizabeth Noelle-Newman pada tahun 1974 mengembangkan suatu teori spiral of silence  atau spiral kebisuan yang berkaitan dengan pertanyaan bagaimana  terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan suatu proses saling  mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antar pribadi dan  persepsi individu atas pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan  pendapat orang lain dalam masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa  pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang menjadi pikiran orang  lain.
Di sini individu berusaha untuk  menghindari isolasi dalam arti sendirian mempertahankan sikap. menurut  teori ini, individu akan mengamati lingkungannya untuk mempelajari  pandangan yang populer dan tidak populer. Jika seseorang beranggapan  bahwa pandangannya tidak populer, maka cenderung akan bersikap untuk  tidak mengekspresikan pandangannya.
Berdasarkan teori-teori diatas,  menggambarkan, bahwa media turut berpengaruh dalam membentuk pola  pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat yang berarti juga turut  mempengaruhi pembentukan dan perkembangan budaya.
E.    Konsep Persepsi 
Pengertian persepsi diterangkan  Ensiklopedi Indonesia merupakan “proses mental yang dapat menghasilkan  bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal dengan jalan  asosiasi pada suatu ingatan tertentu, baik secara indera penglihatan,  indera perabaan, dan sebagainya sehingga akhirnya bayangan itu  disadari.” (Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru Va Hoeve, buku 5,  Jakarta, 1984 : 2684)
Berelson dan Steiner memberikan  pengertian persepsi sebagaimana dikutip Werner J. Severin dan James W.  Tankard (1979 : 129) dalam “Communication Theories, Origins, Methods,  Uses” sebagai “ A recent definition states that perception is the  ‘complex process by which people select, organize and interpret sensory  stimulation into a meaning and coherent picture of the wolrd” (persepsi  merupakan suatu proses yang kompleks di mana orang-orang menyeleksi,  mengorganisir, menafsirkan rangsangan indrawi ke dalam artian yang  bertalian dengan gambaran keadaan saat ini.
Sedangkan Jalaluddin Rakhmat mengatakan  bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau  hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan  menafsirkan pesan.  (Rakhmat, 1985 :176). Onong Uchjana Effendy juga  memberikan pengertian tentang persepsi sebagai penginderaan terhadap  suatu kesan yang timbul dalam lingkungannya; penginderaan itu  dipengaruhi oleh pengalaman, kebiasaan dan kebutuhan. (Uchjana Effendi,  1977)
Dalam konteks ini, persepsi diberi  pengertian sebagai kemampuan seseorang untuk menafsirkan atau  menyimpulkan sesuatu pesan secara indrawi. Menafsirkan atau menyimpulkan  sesuatu pesan berarti memberikan pendapat atau penilaian terhadap pesan  tersebut.
Menurut Everett M. Rogers dan F. Floyd  Shoemaker (1971), bahwa kemampuan seseorang dalam menafsirkan sesuatu  pesan dapat dikaji dari selective exposure dan selective perception. Selective exposure  adalah  kecenderungan seseorang untuk menangkap atau memperhatikan pesan-pesan  komunikasi yang sesuai dengan kebutuhannya, sikap, dan kepercayaan,  sehingga pesan-pesan yang tak berkaitan dengan dirinya akan dilewatkan  begitu saja, tidak diperhatikan. Sedangkan selective perception adalah  kecenderungan seseorang untuk menafsirkan pesan-pesan komunikasi  menurut sikap dan kepercayaan sendiri atau pengetahuan dan pengalaman  yang ada padanya.
F.     Konsep Realitas Sosial
Studi mengenai realitas sosial dilakukan  oleh ahli sosiologi Peter L.Berger. Menurutnya, realitas sosial adalah  suatu kualitas yang terdapat fenomena-fenomena yang kita akui memilik  keberadaan yang tidak tergantung pada kehendak kita (Berger dan Thomas  Luckman 1989). Menurutnya, ada 4 (empat) asumsi yang mendasari pemikiran  tentang kostruksi realitas sosial, yaitu :
- Suatu kejadian (realitas) tidak hadir  dengan sendirinya secara obyektif atau dipahami melalui pengalaman yang  dipengaruhi oleh bahasa.
- Realitas dapat dipahami melalui  kategori-kategori bahasa secara situasional, yang tumbuh dari interaksi  social pda saat dan tempat tertentu.
- Bagaimana suatu realitas dapat dipahami,  ditentukan oleh konvensi-konvensi komunikasi, yang dilakukan pada saat  itu. Oleh karena itu, stabil atau tidaknya pengetahuan lebih tergantung  pada variasi kehidupan sosial dan pada realitas obyektif diluar  pengalaman.
- Pemahaman terhadap realitas yang  tersusun secara sosial membentuk banyak aspek-aspek penting lain dari  kehidupan. Bagaimana berpikir dan berperilaku dalam kehidupan  sehari-hari pada dasarnya merupakan persoalan bagaimana kita memahami  realitas kita. (Sendjaja, 1994:325).
Hanna Adoni dan Mane dalam artikelnya yang berjudul “Media and Construction of  Social Reality “ membagi realitas dalam tiga bagian, yaitu :
- Realitas sosial obyektif, yaitu  gejala-gejala sosial yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan  sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.
- Realitas sosial simbolik , yaitu  bentuk-bentuk simbolik dari realitas sosial obyektif, yang biasanya  diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi dan isi media.
- Realitas sosial  subyektif, yaitu  realitas sosial yang terbentuk pada diri khalayak yang berasal  dari  realitas sosial obyektif dan realitas simbolik. Jadi reaitas realitas  sosial subyektif merupakan perpaduan antara realitas obyektif dan  realitas simbolik.
Individu menerima realitas sosial  berdemensi obyektif melalui proses sosialisasi dalam kehidupan  sehari-hari, ternyata tidak semua realitas sosial itu dapat diterima  oleh setiap individu, dan setiap individu menerimanya secara terbatas.  Keadaan ini menyebabkan individu membentuk realitas sosial baru yang  berdimensi subyektif.
Artikel Social Reality and Television News, yang dimuat dalam Journal of Broadcacting,  28 (1), 1984, Adoni, Mane dan Cohen meneliti secara simultan mengenai  persepsi terhadap konflik sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di  masyarakat. Hipotesis utama kajian ini didasarkan pada dependency,  bahwa tingkat konstribusi media terhadap persepsi mengenai realitas  sosial sebuah fungsi pengalaman langsung dengan beragam fenomena sosial  dan ketergantungan pada media sebagai sumber informasi. Menurut Adoni  (et all), bahwa berdasar pada sosiologis dan literature media, ada tiga  dimensi utama yang sering “bias” dalam pemberitaan televisi terhadap    realitas sosial yaitu :
1. Kompleksitas, Fokus pada demensi ini berasal dari argument bahwa liputan berita-berita televisi cenderung untuk menyederhanakan konflik.
Sementara literatur sosiologi beranggapan  bahwa beberapa konflik yang terjadi dimasyarkat melalui beberapa  tahapa. Televisi hanyamemfokuskan pada tahapan yang tampak saja dan  tidak mengungkapkan hal mendasar yaitu penyebab kejadian. Menurut  Murdock tipe penyederhanaan ini merupakan hasil dari ‘orientasi  kejadian’
2. Intensitas. Dimensi  ini berasal dari anggapan bahwa berita-berita televisi cenderung hanya  menyajikan dengan lebih mendalam peristiwa konflik sosial. Menurut  Tuckman contoh liputan berita yang mengkedepankan intensitas seperti  liputan mengenai kerusuhan. Padahal selama priode kerusuhan akan ada  masa ketenangan, yang dalam laporan berita biasanya tidak memperhatikan  hal ini. Menurut Stuart Hall dalam artikel “A word at one with it self” mengatakan bahwa penggambaran konflik sosial di media massa cenderung menggambarkan actuality without contex dan hanya menekankan pada nada kesan yang gamblang.
 3. Solvabilitas.  Demensi ini menekankan pada kesulitan pemecahan   konflik-sosial.  Televisi sering menyajikan berita-berita mengenai konflik sosial sebagai  kejadian yang dengan segera dapat diatasi. Alferd Schutz menyatakan  bahwa, realitas kehidupan sehari-hari saya bukan semata-mata realitas  pribadi, tapi berawal dari hubungan antara subyek yang dibagi, dialami,  diartikan di antara teman-teman saya. Singkatnya ini adalah suatu  realitas bagi kami semua. Dalam situasi biografis yang unik, dimana saya  menemukan diri saya dalam realitas pada suatu saat tertentu dari  eksistensi saya, hanyalah bagian sangat kecil dari realitas yang  dibentuk secara bersama melalui hubungan dengan orang lain. (Sendjaja,  1994)
Berger dan Luckman dalam buku tafsir  sosial atas kenyataan (1990) berpendapat bawa proses terbentuknya  realitas sosial adalah proses dialektika dimana manusia sebagi produk  masyarakat dan masyarakat sebagai produk manusia.
Proses dialektika tercipta dari tiga unsur yaitu :
1.  Obyektivitas.  Interaksi sosial dalam dunia inter-subyektif yang dilembagakan atau  mengalami proses institusional. Obyektivitas artinya memanifestasikan  diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi  produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dua  bersama.
2.  Internalisasi. Dunia sosial yang telah diobyektifikasikan, diasumsikan kembali kedalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi.
3. Eksternalisasi. Penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. (Peter L.Berger dan Luckman, 1986).
Ogles (1978) mengungkapkan bahwa realitas  sosial mengacu pada orientasi individu terhadap dunia nyata yang  sebagian berdasarkan pengalaman masa lampau dan observasi sekarang dari  individu sendiri dan sebagian lagi berdasarkan pada pengalaman individu  yang diperoleh dari saluran antar pribadi dan saluran komunikasi massa.
G.  Televisi Sebagai Pembentuk Realitas Sosial.
Salah satu kajian mengenai tradisi efek  media yang berkaitan dengan realitas sosial oleh media adalah analisis  kultivasi yang dikembangkan oleh George Gerbner dengan menggunakan  indikator budaya.
Awal kajian analisis kultivasi, hanya  memfokuskan pada fungsi dan sifat kekerasan di televisi. Meskipun  kekerasan terutama berdasarkan pada kekuasaan dunia pertevisian,  implikasi serius untuk control sosial dan untuk konfirmasi diabadikan  oleh kelompok minoritas. (Gerbner, Gross, Signorielli, Morgan &  Jackson Beck, 1979, Morgan, 1983). Pendekatan yang menggunakan indikator  budaya meliputi tiga cabang penelitian yaitu :
- Proses analisis institusional adalah  penyelidikan bentuk dan sistematisasi dari kebijakan langsung  aliran  pesan secara besar-besaran.
- Analisis sistem pesan meliputi pengujian  yang sistematis, sepanjang minggu dengan sample drama televisi dalam  tingkat yang dapat dipercaya dan trend dunia kehadiran televisi ditonton  oleh khalayak.
- Analisis kultivasi menguji respon dengan  memberikan pertanyaan mengenai realitas sosial antara sejumlah pengguna  televisi. penelitian ini menentukan apakah semakin banyak waktu untuk  menonton televisi menjadikan persepsi penonton tentang dunianya  merupakan refleksi dunia televisi.
George Gerbner dalam “Cultivation Analysis” : New Direction In Media Effect Reseach,  melihat bahwa kultivasi berkaitan erat dengan persepsi mengenai  realitas sosial. Televisi memberi kontribusi yang spesifik dan terukur  pada konsepsi penonton mengenai realitas. Hipotesis utama dari Gerbner  mengenai analisis kultivasi adalah bahwa semakin lama seseorang  menghabiskan waktunya di depan televisi akan lebih cenderung membentuk  konsepsi realitas soaial yang ditiru diri gambaran televise (Gross dan  Morgan, 1985) atau semakin sering orang menonton televisi, maka  persepsinya mengenai realitas sosial semakin mirip dengan dunia  televisi.
Untuk menguji hipotesis tersebut, Gerbner  dan koleganya menganalisa data dari orang dewasa, remaja dan anak-anak  perkotaan di Amerika Serikat, dengan menggunakan data dari National  Opinion Research Centre (NORC).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemirsa berat (heavy viewers), skor tertingginya ada pada indeks “dunia suram” dibanding dengan pemirsa ringan (light viewers).  Data dari orang dewasa dan anak-anak menunjukan bahwa pemirsa berat  lebih curiga dan tidak percaya pada orang lain. Serangkaian studi  memperkuat penemuan ini dan menemukan bahwa pemirsa berat lebih  beranggapan meratanya kelaziman kekerasan dalam masyarakat dan peluang  mereka sendiri untuk terlibat dalam kekerasan. (Gerbner & Assosiasi,  1978).
Gerbner mengembangkan dinamika kultivasi dari konsep realitas sosial. Untuk itu Gerbner menggunakan mainstreaming dan resonance.
Dalam tulisan “The Mainstreaming of  America: Violence Profile No. 11, Gerbner dan Assosiasi mengungkapkan  penelitian yang terdiri dari dua bagian yang saling berhubungan yaitu  analisis system pesan dan analisis kultivasi. Analisis sistem pesan  adalah monitoring tahunan dari sample prime time dan jaringan  dramatik akhir pekan. Sedang analisis kultivasi adalah penyelidikan  tentang konsepsi pemirsa tentang realitas sosial yang terjadi akibat  adanya pemberitaan yang berulang-ulang dan terus menerus dari televisi.
Konsep  mainstreaming adalah  kesamaan pandangan diantara pemirsa berat (heavy viewers). Mainstreaming  merupakan pertukaran kebiasaan antara pemirsa berat dalam kelompok  demografis, dimana pemirsa ringan (light viewers) memiliki pandangan yang berbeda.
Konsep resonance adalah suatu  keadaan, dimana isi media massa dianggap sama dengan realitas. Sebagai  contoh, pemirsa yang tinggal di daerah yang memiliki tingkat kejahatan  yang tinggi akan beranggapan bahwa apa yang disajikan televisi adalah  sama dengan dunia yang sebenarnya.  Realitas televisi dan realitas yang  sebenarnya menghasilkan koherensi yang kuat dan pesan televisi akan  mengkultivasi secara signifikan. Analisis kultivasi menembus pesan  budaya, memunculkan image bahwa televise dapat mengkultivasi kepercayaan  ideologi dan pandangan dunia.
Morgan dan Signorielli melihat bahwa,  televisi lebih berperan dalam pembentukan persepsi dibanding dengan  media lain. Menurut Morgan : Analisa kultivasi mencoba untuk memastikan,  jika seseorang banyak menghabiskan waktunya untuk menonton televisi,  maka orang akan cenderung untuk menerima dunia nyata seperti yang  direfleksikan dan disampaikan secara berulang-ulang oleh televisi.
Elizabeth M.Perse, melakukan kajian mengenai “Cultivation And Involvement With Local television News”  tahun 1990. Kajian ini menyelidiki level individu yang menghubungkan  terpaan televisi, keterlibatan dan persepsi individual mengenai keamanan  diri. Hasilnya menunjukkan bahwa perhatian terhadap berita-berita  positip signifikan sebagai penyumbang kultivasi akan persepsi keamanan  diri.
H.    Konsep Kekerasan di Televisi
Gerbner, Larry Gross, Nancy dan assosiasinya dalam penelitian “ The Demonstration of Power”  : Violence Profile No.10 tahun1980, memfokuskan pada analisis program  (antara lain drama televisi) sekitar tahun 1978 – 1979 dan tahun-tahun  sebelumnya. Cerita-cerita televisi yang berisi kekerasan yang  penayangannya dilakukan dengan frekwensi yang semakin tinggi dan  berulang-ulang, utamanya dalam program yang ditujukan untuk anak-anak. 
Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini adalah :
Kekerasan merupakan tampilan drama  televisi, yang munculnya sering  dan konsisten. Kekerasan yang dimaksud  sebagai ekspresi terbuka darikekuatan fisik dengan atau tanpa senjata,  terhadap diri sendiri atau  orang lain, memaksakan tindakan terhadap  orang lain.   Tampaknya ada ketakutan yang dapat dijustifikasi, bahwa  menonton kekerasan di televisi dapat membuat orang-orang utamanya  anak-anak, menjadi lebih sering melakukan tindakan kekerasan.
Penelitian ini memperlihatkan korelasi  positip antara menonton kekerasan dan agresi diantara remaja dalam  kehidupan nyata. Faktor-faktor ini tidak mempengaruhi jenis kelamin dan  prestasi di sekolah. Selain itu ditemukan juga, bahwa penonton usia muda  yang sering menonton adegan kekerasan menyetujui dan menganggap lumrah  untuk memukul orang jika kita sedang marah pada seseorang dengan alasan  yang  tepat.
Dalam penelitian mengenai demonstrasi  kekuatan ini, dengan tetap menggunakan indikator budaya, ada dua asumsi  yang mendasari penelitian Gerbner dan assosiasinya :
- Iklan televisi tidak seperti media lain, menampilkan keseluruh dunia  nyata dari cerita yang saling berkaitan, yang diproduksi untuk susunan  spesifikasi pasar yang lama.
- Kebanyakan penonton televisi, menonton  dengan cara yang tidak selektif dan sesuai dengan waktu, dibanding  dengan mereka yang menonton televisi berdasarkan program. Menonton  televisi dianggap sebagai hal ritual seperti agama, kecuali bahwa hal  ini dilakukan secara lebih teratur.
Gerbner (1980) menggabungkan kultivasi  dengan sifat dan isi yang digambarkan televisi yang berulang-ulang  mencerminkan nilai-nilai kepercayaan dan perilaku yang lazim juga  terhadap sifat khalayak baik penonton instrumen maupun ritual. Gerbner  menghubungkan antara kultivasi dengan sejumlah tayangan kekerasan.  Analisa yang dilakukan memperlihatkan remaja heavy viewers melihat dunia dengan penuh kekerasan dan mereka mengekspresikan ketakutan yang lebih besar dibanding light viewers.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa heavy viewers mempunyai persepsi yang berbeda mengenai realitas sosial dengan light viewers dengan catatan, bahwa faktor  lain diasumsikan tetap.
Frederick Williams (1989) mengomentari hasil penelitian dengan mengatakan heavy viewers  seringkali mempunyai sikap yang streotipe tentang peran jenis kelamin,  dokter, bandit ata tokoh-tokoh lain yang sering muncul dalam serial  televisi.
Menurut Solomon (1983) berdasarkan hasil  riset yang dilakukannya, bahwa semakin streotip persepsi atas media,  maka akan sedikit usaha yang dibutuhkan untuk membuat dan mengolah  persepsi terhadap tayangan media.
I.   Konsep Pornografi
Dalam konteks definisi mengenai  pornografi, Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), mendefinisikan tentang   porno, kp dp pornografi; cabul. Pornografi; (Ing) pelukisan baik dengan  gambar atau tulisan secara erotis dengan tujuan membangkitkan nafsu  berahi dengan menonjolkan semua yang berbau seks;           ( KUBI, J.S.  Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 2001 : 1081).
Menurut Webster’s New World Dictionary, kata “pornografi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua suku kata yaitu Porne dan Graphein. Artinya porne adalah a prostitute; graphein adalah to write (dari kata benda graphe : a drawing, writing). Pornographos adalah writing about prostitutes (penggambaran mengenai pelacuran). Secara harfiah, kamus ini memberikan definisi tentang pornografi sebagai “writing, pictures etc. intended primarily to arouse sexual desire.” Kemudian “ The production of such writings, pictures etc.”
Jurisprudensi Mahkamah Agung RI  menjelakan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota  masyarakat menilai – berdasarkan standar nilai yang berlaku saat itu –  materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembacanya.  Di  bidang hukum sering digunakan kata “merangsang” atau “membangkitkan  nafsu birahi” sebagai unsur pokok pengertian porno. Hakim yang  menyidangkan kasus suatu majalah, mengemukakan bahwa salah satu kategori  porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan  seksual mereka yang membaca atau melihatnya. Pengertian ini sama dengan  definisi pornografi menurut The Encyclopedia Americana yaitu gambar,  tulisan atau bentuk komunikasi lain yang dimaksudkan untuk membangkitkan  nafsu seksual. (Menkominfo,2005)
Berdasarkan definisi, pengertian  pornografi tersebut, maka dapat dikatakan kata kunci bahwa sesuatu itu  dikategorikan porno adalah “membangkitkan nafsu seksual”. Apa yang dapat  membangkitkan nafsu birahi ? adalah pelukisan baik dengan gambar atau  tulisan secara erotis dengan tujuan membangkitkan nafsu berahi dengan  menonjolkan semua yang berbau seks; tulisan.
Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana (ayat 1 dan 2) mendefinisikan pornografi sebagai “kegiatan  menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan (materi pornogarfi) di  muka umum”.
Sementara itu berbagai temuan ilmiah  tentang efek, pengaruh dan dampak pornografi terhadap individu dan  masyarakat, sebetulnya sudah tersedia dalam literatur sejak tahun  1940-an, namun jarang sekali disebut-sebut atau dikutip dalam berbagai  tulisan yang mempersoalkan pornografi. Di Indonesia sendiri, hasil  penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan sikap permisif  berbagai kelompok masyarakat terhadap pornografi, termasuk pelajar dan  mahasiswa. Misalnya, 28% mahasiswa dan 18% mahasiswi di Universitas  Udayana setuju hubungan  seks pra nikah, sebagaimana hasil penelitian  yang dilakukan Pers Kampus universitas tersebut pada tahun 1993.  Sementara itu, dari 497 responden siswa salah satu SMA di Yogjakarta,  22% diantaranya setuju terhadap hubungan seks diluar nikah. Kemudian,  satu penelitian yang dilaksanakan oleh BAPPENKAR Tk.I Jawa Timur  menunjukkan hasil bahwa 42 remaja nakal mengaku pernah melakukan  hubungan seks.
Senada dengan temuan itu, hasil  penelitian kecil yang dilaksanakan majalah Retorika, media mahasiswa  FISIP UNAIR, menunjukkan bahwa para mahasiswa dan mahasiswi di  lingkungan kampus itu mengakui adanya praktek prostitusi yang dilakukan  oleh sejumlah mahasiswi. (Gayatri: 2005).
Sumber : Studi Dampak Tayangan Kekerasan dan Pornografi di Televisi, Puslitbang APTIKA IKP Balitbang SDM Kemkominfo