Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).
Esensi Teori
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
(1) Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
(2) Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
(3) Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
(4) Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents).
Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup:
Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi.
Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik.
Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.
Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
Kategori Adopter
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961). Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:
Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi
Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi
Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.
Penerapan dan keterkaitan teori
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.
Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’ (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan Parker (1974), yang mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu
Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.
Bahan Referensi:
Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional
Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations, London: The Free Press.
Rogers, Everett M., 1983, Diffusion of Innovations. London: The Free Press.
Rogers, Everett M, 1995, Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press.
Brown, Lawrence A., Innovation Diffusion: A New Perpevtive. New York: Methuen and Co.
Sumber : Puslitbang APTIKA IKP Balitban SDM, Kemkominfo.
Sebagian besar manusia pasti sudah merasakan sakit. Penerimaan ketika sakit tentunya berbeda antara satu orang dengan yang lain. Ada orang yang sakit flu atau batuk saja merasa menerima musibah yang besar. Ada pula orang mengidap kanker atau tumor ganas, tetapi merasa lapang, menerima sakitnya dengan sabar karena dia yakin bahwa semua penyakit datang dari Allah dan pasti ada obatnya. Sebenarnya apa pengertian sakit menurut islam? Dalam hadist Thabrani dinyatakan bahwa “Seorang mukmin yang sakit, ia tidak mendapatkan pahala dari sakitnya, namun diampuni dosa-dosanya”. Ini berarti bahwa sakit pada manusia merupakan salah satu wujud kasih sayang Allah. Lalu, Apa yang harus kita lakukan ketika sakit? Kita harus mengeluhkan sakit kepada Allah dan ikhlas menerimanya. Di samping itu jangan lupa berobat kapada ahlinya.
Nabi menjelaskan bahwa ada dua macam penyakit sesuai dengan keadaan manusia yang terdiri dari tubuh jasad dan tubuh rohani. Untuk obat rohaniah adalah membaca AL Qur’an dan untuk sakit fisik adalah materi, diantaranya adalah madu.Dalam salah satu hadis riwayat Wailah bin Al Asqa’ disebutkan bahwa ketika seorang sahabat mengeluh sakit kerongkongan kepada rasulullah, maka beliau bersabda : “Bacalah Al-Qur’an dan minumlah madu, karena membaca Al-Qur’an merupakan obat untuk penyakit yang berada di dalam dada dan madu adalah obat untuk tiap penyakit”.
Sebelum Islam diturunkan, manusia sudah mempunyai pengetahuan dan cara pengobatan yang mereka peroleh berdasarkan pengalaman. Hal ini dinamai pengobatan tradisional yang banyak berdasarkan pada kegelapan mistik. Mereka percaya bahwa dunia ini dikuasai oleh mahkluk ghaib yang baik dan yang jahat terhadap manusia.Makhluk inilah yang menyebabkan datangnya bencana dan penyakit. Dukun-dukun atau orang-orang tua merekalah yang berhubungan dengan makhluk ghaib tersebut. Dukun-dukun inilah yang nanti menjadi orang yang mengobati. Tiap dukun mempunyai cara tersendiri dalam memperoleh ilmu pengobatan dan dalam membuat diagnosa penyakit serta mengenai pengobatannya, yang kesemuanya dipengaruhi juga oleh kebudayaan suku-suku dan agama mereka. Dukun di Jawa berbeda dari dukun di Bali dan Sumatera. Dukun suku Batak akan berbeda dari dukun suku Minang dan sebagainya.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pengobatan tradisional ini di manapun (termasuk Indonesia), adalah pengobatan yang primitif, jadi tidak ilmiah dan spekulatif,mistik, magik dan statis serta tidak dapat diajarkan. Jampi-jampi dan rajah serta azimat dilarang oleh Islam, karena semua itu membawa manusia kepada sikap syirik yang mempercanyai bahwa azimat, huruf-huruf dan tulisan-tulisan, walaupun ayat Al Qur’an,dapat menyembuhkan atau mencegah penyakit.
Usumah bin Syarik berkata, “Di waktu saya beserta Nabi Muhammad SAW., datanglah beberapa orang badui, lalu mereka bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah kami mesti berobat?”, Jawab beliau, “Ya, wahai hamba Allah, berobatlah kamu, karena Allah tidak mengadakan penyakit melainkan Dia adakan obatnya, kecuali satu penyakit”. Tanyamereka, “Penyakit apa itu?”. Beliau menjawab, “Tua”. (HR. Ahmad).
Abu Darda’ berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnyqa Allah menurunkan penyakit serta obat dan diadakan-Nya bagi tiap penyakit obatnya, maka berobatlah kamu, tetapi janganlah kamu berobat dengan yang haram”. (HR. Abu Daud).
Secara umum di dalam dunia pengobatan dikenal istilah medis dan nonmedis.Para ahli berbeda pendapat tentang penjelasan batasan istilah medis dan definisinya secara terminologis menjadi tiga pendapat, yakni : 1. Pendapat pertama :Medis atau kedokteran adalah ilmu untuk mengetahui berbagai kondisi tubuh manusia dari segi kesehatan dan penyakit yang menimpanya. Pendapat ini dinisbatkan kepada para dokter klasik dan Ibnu Rusyd-Al-Hafidz. 2. Pendapat kedua : Medis atau kedokteran adalah ilmu tentang berbagai kondisi tubuh manusia untukmenjaga kesehatan yang telah ada dan mengembalikannya dari kondisi sakit. Pendapat ini dinisbatkan kepada Galinus dan dipilih oleh Dawud Al Antoky dalambukunya Tadzkirah Ulil Albab. 3. Pendapat ketiga : Ilmu yang diketahui dengannya kondisi-kondisi tubuh manusia dari segi kondisisehat dan kondisi menurunnya kesehatan untuk menjaga kesehatan yang telah ada dan mengembalikannya ketika kondisi tidak sehat. Ini adalah pendapat Ibnu Sina. Definisi-definisi tersebut walaupun kata-kata dan ungkapannya berbeda tetapi arti dan kandungannya saling berdekatan, meskipun definisi ketigalah yang memiliki keistimewaan karena bersifat komprehensif mencakup makna yang ditunjukkan oleh definisi pertama dan kedua.
Dalam setiap perjalanan hidup manusia, senantiasa dipertemukan pada tiga kondisi dan situasi yakni sehat, sakit atau mati. Sebagian manusia memandang sehat dan sakit secara berbeda. Pada kondisi sehat, terkadang melupakan cara hidup sehat dan mengabaikan perintah Allah Swt, sebaliknya pada kondisi sakit dianggapnya sebuah beban penderitaan, malapetaka dan wujud kemurkaan Allah Swt kepadanya. Padahal Allah SWT dalam Q.S. Shaad : 27 selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada hambanya pasti ada hikmah/pelajaran dibalik itu semua.
Dalam perspektif Islam, setiap penyakit merupakan cobaan yang diberikan oleh Sang Pencipta Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya. Sabda Rasulullah SAW yang artinya “Dan sesungguhnya bila Allah SWT mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa yang murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT” (H.R. Ibnu Majah dan At Turmudzi). Sakit juga dapat dipandang sebagai peringatan dari Allah SWT untuk mengingatkan segala dosa-dosa akibat perbuatan jahat yang dilakukannya selama hidupnya. Pada kondisi sakit, kebanyakan manusia baru mengingat dosa-dosa dari perbuatan jahatnya dimasa lalu. Dalam kondisi sakit itulah, kebanyakan manusia baru melakukan taubat dengan cara memohon ampunan kepada Allah SWT dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya di kemudian hari.
Kondisi sehat dan kondisi sakit adalah dua kondisi yang senantiasa dialami oleh setiap manusia. Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit apabila tidak menurunkan juga obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: مَاأَنْزَلَاللَّهُدَاءًإِلَّاأَنْزَلَلَهُشِفَاءً -Allah swt tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya (HR Bukhari).
Bila dalam kondisi sakit, umat Islam dijanjikan oleh Allah Swt berupa penghapusan dosa apabila ia bersabar dan berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, “Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.”
Sementara bagi Umat Islam lainnya yang berada dalam kondisi sehat dianjurkan oleh Allah Swt untuk menjenguk saudara seiman yang menderita sakit. Apabila orang yang sehat minta didoakan dari orang yang sakit, maka Allah Swt berjanji akan mengabulkannya. Hal ini diriwayatkan Asy-Suyuti, “Jika kamu menjenguk orang sakit, mintalah kepadanya agar berdoa kepada Allah untukmu, karena doa orang yang sakit seperti doa para malaikat.”
Dengan demikian, kedudukan orang yang menderita sakit bukanlah orang yang hina, malah memiliki kedudukan yang mulia. Simak hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari “Tidak ada yang yang menimpa seorang muslim kepenatan, sakit yang berkesinambungan (kronis), kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai pun duri yang ia tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah menghapus dosanya.”
Menurut Aswadi Syuhadak dalam sebuah tulisannya berjudul “Sakit versus Kesembuhan Dalam Islam”, kata maradl (Sakit) dan syifa’ (Sembuh) dalam QS. Al-Syu`ara’ [26/47]: 80 وَإِذَامَرِضْتُفَهُوَيَشْفِينِ yang artinya, “apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku“, dikaitkan dengan manusia, sedangkan syifa’ (kesembuhan) diberikan pada manusia dengan disandarkan pada Allah swt. Kandungan makna demikian ini juga mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa setiap ada penyakit pasti ada obatnya, dan apabila obatnya itu mengenai penyakitnya sehingga memperoleh kesembuhan, maka kesembuhannya itu adalah atas ijin dari Allah swt. sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir dari Nabi saw bersabda: لِكُلِّدَاءٍدَوَاءٌفَإِذَاأُصِيبَدَوَاءُالدَّاءِبَرَأَبِإِذْنِاللَّهِعَزَّوَجَلَّ. -Setiap penyakit pasti ada obatnya, apabila obatnya itu digunakan untuk mengobatinya, maka dapat memperoleh kesembuhan atas ijin Allah swt (HR. Muslim).
Lebih lanjut merujuk pada catatan Ibnu Faris, maradl merupakan bentuk kata yang berakar dari huruf-huruf m-r-dl (م- ر- ض) yang makna dasarnya berarti sakit atau segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental bahkan tidak sempurnanya amal atau karya seseorang atau bila kebutuhannya telah sampai pada tingkat kesulitan. Terlampauinya batas kewajaran tersebut dapat berbentuk ke arah berlebihan yang disebut boros, sombong maupun takabbur; dan dapat pula ke arah kekurangan yang disebut kikir, bodoh, dungu dan kolot. oleh karenanya maradl juga dapat dikatakan sebagai hilangnya suatu keseimbangan bagi manusia.
Aswadi Syuhadak menemukan sebanyak tiga belas kali dalam Al-Qur’an kata maradl, kesemuanya dikaitkan dengan qulub قلوب)), hati dalam bentuk jamak, kecuali sekali disebut kata qalb dalam bentuk tungal. Kata maradl juga biasa diidentikkan dengan kata saqam. Dalam hal ini, kata saqam hanya difokuskan pada penyakit jasmani, sedangkan maradl terkadang digunakan untuk sebutan penyakit jasmani, ruhani dan psikologis.
Sementara kata syifa’ itu sendiri adalah berakar dari huruf-huruf ش - ف- ي dengan pola perubahannya شفى- يشفي- شفاء (syafa-yasyfi-syifa’) yang menurut catatan ibnu Mandhur berarti obat yang terkenal, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit Ibnu Faris bahkan menegaskan bahwa term ini dikatakan syifa’ karena ia telah mengalahkan penyakit dan menyembuhkannya. Sejalan dengan pengertian ini, al-Raghib al-Ashfahani justru mengidentikkan term syifa’ min al-maradl (sembuh dari penyakit) dengan syifa’ al-salamah (obat keselamatan) yang pada perkembangan selanjutnya term ini digunakan sebagai nama dalam penyembuhan, baik mabarrat, klinik maupun rumah sakit.
Beberapa pengertian syifa’ tersebut secara sederhana dapat dipahami bahwa syifa’ itu sendiri selain menunjuk pada proses dan perangkat tekniknya juga merujuk pada hasil yang diperolehnya, yaitu sebuah kesembuhan dari suatu penyakit. Sedangkan kata sehat yang merujuk pada kata salim sebagaimana tercantum dalam QS al-Shaffat [37]:85-86 dan QS as-Syu’ara’ ayat 87-90. Kandungan ayat ini menunjukkan upaya dan permohonan Nabi Ibrahim kepada Allah swt untuk memperoleh keselamatan maupun kesehatan sejak dalam kehidupan di dunianya hingga di hari kebangkitan.
Secara filosofis, makna kesehatan menurut ajaran Islam adalah kebersihan dalam diri manusia meliputi sehat jasmani dan rohani atau lahir dan batin. Orang yang sehat secara jasmani dan ruhani adalah orang berperilaku yang lebih mengarah pada tuntunan nilai-nilai ruhaniyah, uluhiyah (ilahiyah) maupun rububiyyah (insaniyah) sehingga melahirkan amal saleh. Jasad, raga, dan badan serta unsur-unsur fisik yang mengalami kerusakan hingga kesakitan dapat disembuhkan melalui ayat-ayat qauliyah sebagaimana tersebut dalam QS al-Isra’: [17/50]: 82-83, ayat-ayat kauniyah dalam QS al-Nahl [16/70]: 69 dan gabungan antara ayat-ayat qauliyah dan kauniyah sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Taubah [9/113]: 14 dan 15 yang dapat disebaut sebagai penyembuhan dan kegunaannya secara holistik.
Untuk mencegah datangnya penyakit, manusia dibebaskan untuk berikhtiar. Namun Islam sudah memberikan kuncinya secara umum dengan cara mencegah kelebihan makan.Al Quran mengingatkan, “Makan dan minumlah tapi jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Rasulullah juga memberikan tips dalam sabdanya,” Tidak ada bencana yang lebih buruk yang diisi oleh manusia daripada perutnya sendiri. Cukuplah seseorang itu mengonsumsi beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Kalau terpaksa, maka ia bisa mengisi sepertiga perutnya dengan makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga sisanya untuk nafasnya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Perlu diketahui bahwa Allah menurunkan segala penyakitnya tanpa menjelaskan secara terperinci mengenai jenis penyakitnya dan Alah menurunkan obatnya tanpa menyebutkan detail apa obatnya dan bagaimana memakainya. Masalah ini haruslah dikerjakan oleh manusia dengan akal, ilmu dan penyelidikan yang sekarang dinamai “science” bersama teknologinya. Apabila manusia mau mencari, maka Allah akan memberikan ilham-Nya kepada siapa saja yang mau mencari dan mengembangkan akalnya terlepas dari agama yang dianutnya, apakah dia Islam, ateis, Kristen, Hindu ataupun lainnya, sebagaimana angterjadi di jaman ini. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Surat AL-‘Alaq ayat 1-5 : “Bacalah! Dengan asma Tuhanmu yang telah mencipta. Menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah! Dan Tuhanmu itu adalah Maha Mulia. Dia yang mengajarkan dengan qalam. Mengajari manusia apa yang ia tidak tahu”.
Simaklah sabda Rasulullah SAW. : “Pikirkanlah mengenai ciptaan Allah dan janganlah pikirkan zat Alah, maka kamu akan tersesat”. “Tuntutlah ilmu sejak lahir sampai ke liang lahat”. “Tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina”. “Barang siapa yang menghendaki dunia, maka ia harus berilmu dan barang siapa yangmenghendaki akhirat, maka ia harus berilmu dan barang siapa menghendaki keduanya,maka ia harus berilmu”. “Agama itu akal dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal”.
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat.
Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat
dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat.
Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya.
Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga.
Sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya.
Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.
(Riwayat Muslim)
sumber : http://pembinaanpribadi.blogspot.com/2011/09/memudahkan-orang-yang-sedang-kesulitan.html
Imam Syafii pernah ditanya oleh istrinya, "Suamiku, apakah engkau mencintaiku?" Beliau menjawab, "Ya tentu saja, dirimu bagian dalam hidupku." Mendengar itu istrinya bertanya, "Apakah engkau juga mencintai Allah? Bagaimana mungkin dua cinta menyatu dalam hati seorang mukmin, Cinta kepada Allah dan juga mencintaiku?" Beliau tersenyum dan mengatakan kepada istrinya dengan pandangan mata yang lembut penuh kasih sayang. "Karena cintaku kepada Allah, maka aku mencintai makhlukNya, memperlakukan dengan hormat dan penuh kasih sayang istriku, anak-anakku dan sesama. Aku mencintaimu karena cintaku kepada Allah."
Sahabatku, cintailah pasangan cinta kita karena cinta kita kepada Allah, perlakukanlah dengan hormat pasangan kita, setia dan mencintai dengan setulus hati. Kehidupan di dalam rumah tangga sangat dinamis, kebahagiaan, kesedihan, kebencian, senyuman semua datang silih berganti. Jika pasangan suami dan istri saling memahami terus ditumbuhsuburkan, maka akan selalu ada tunas cinta yang bersemi. Jika tunas cinta terus bersemi akan selalu bunga-bunga yang bermekaran, menebarkan semerbak harum wangi dipagi hari menyambut kehidupan yang indah. Sahabatku, para suami, bersabarlah menghadapi kekurangan istri, selalu ingatlah akan pengorbanannya. Sahabatku, para Istri, bersabarlah dengan kekurangan suami, ingatlah selalu kebaikannya. Bila datang masalah dan konflik bukan saling menggugat kelemahan dan mengeluh pengorbanan yang telah pernah kita lakukan namun saling mengakui dengan setulus hati, memahami, memuji. Disinilah rahmat Allah turun melimpahkan kembali sehingga cinta bersemi kembali, disela hempasan badai dan gelombang samudra kehidupan yang datang siling berganti.
Seorang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik kepada istrinya. (HR. Bukhari).
sumber : http://www.facebook.com/notes/mukjizat-sholat-dan-doa/aku-mencintaimu-karena-aku-mencintai-allah/10150556883336692
Meski kita beriman kepada Takdir Allah, tidak berarti kita jadi fatalis dan tidak berusaha melakukan apa-apa. Ada dua faktor yang menyebabkan keputusasaan. Pertama, tekanan eksternal. tekanan eksternal adalah tantangan dan faktor utama yang mampu memancing respon dari dalam diri seseorang. Peristiwa-peristiwa konflik keluarga, kehilangan orang yang dicintai, jatuh sakit, kehilangan pekerjaan, Itulah tekanan eksternal yang mampu memicu kondisi diri kita menjadi kecewa, marah dan putus asa. Faktor kedua yang mengakibatkan depresi dan menjadi putus asa, kecewa, kehilangan semangat untuk menjalani kehidupan adalah bersumber di dalam diri kita sendiri yaitu lemahnya ketahanan diri.
Sebagai hamba Allâh Ta'ala, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullâh yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”(QS al-Anbiyâ’/21:35).
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”
Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta'ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta'ala membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta'ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.
Nabi Muhammad saw bersabda, “Memang sangat menakjubkan keadaan orang mukmin itu; karena segala urusannya sangat baik baginya dan ini tidak akan terjadi kecuali bagi seseorang yang beriman dimana bila mendapatkan kesenangan ia bersyukur maka yang demikian itu sangat baik baginya, dan bila ia tertimpa kesusahan ia sabar maka yang semikian itu sangat baik baginya.” (HR. Muslim). Dari Anas ra berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt berfirman: “Apabila Aku menguji salah seorang hambaKu dengan buta kedua matanya kemudian ia sabar maka Aku akan menggantikannya dengan sorga.” (HR. Bukhari).
”Jika telah shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” [QS. Al Jumu'ah:10].
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [QS. Al Qashash:77].
Setiap peristiwa apapun yang menimpa kita belum tentu mengakibatkan respon yang sama karena ketahanan diri dan kualitas kesehatan jiwa masing2 individu berbeda. Bagi orang yang memiliki ketahanan diri yang kuat maka kekecewaan, marah dan putus asa dapat ditunda dalam waktu yang cukup lama sedangkan bagi mereka yang lemah ketahanan dirinya maka kekecewaan, marah dan putus asa begitu mudah muncul. Persoalan depresi & keputusasaan sering terjadi dalam diri seorang maupun kehidupan berumah tangga yang cenderung pragmatis, materialistik dan jauh dari tuntunan agama. Ketika harta, jabatan dan status sosial lebih menjadi tujuan utama dalam hidup, mengejar dan berjuang habis-habisan bersamaan keimanan kepada Allah sangatlah tipis maka lebih berpotensi mudah putus asa. Putus asa bagaikan racun yang paling keras menggerogoti sekujur tubuh dan merusak seluruh organ dalam. Penderitaan yang ditimbulkan rasa putus asa akan berkelanjutan sampai wajah anda menimbulkan kerutan-kerutan ketuaan. Sampai orang-orang disekitar kita hampir tidak mengenali anda dengan baik. wajah anda nampak lebih tua.
Seseorang merasa bahwa dirinya mendapat tekanan hingga batas ketidaksanggupan untuk dipikulnya maka semua yang ada dihadapannya menjadi hampa, ia merasa yang dilakukan tidak membawa perubahan apapun sehingga ia berputus asa. Putus asa merupakan sifat buruk pada diri kita jika ditimpa musibah menjadi kehilangan gairah untuk hidup, kehilangan gairah untuk bekerja & beraktifitas sehari-hari, timbul perasaan sedih, merasa bersalah, lambat berpikir, menurunnya daya tahan tubuh, mudah jatuh sakit karena yang ada hanyalah pandangan kosong seolah terhimpit oleh beban yang sangat berat berada dipundaknya sehingga putus asa meracuni kehidupan kita. ‘Manusia tidak jemu memohon kebaikan dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa dan putus harapan.’ (QS. Fushilat : 49).
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” [QS.Al Baqarah:286].
”Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya…” [QS. Al Mu'minuun:62].
“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu” [At Taghabun:16].
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan gamblang menyatakan larangan dan celaan terhadap sikap putus asa sebagai kaum yang kafir dan orang-orang yang sesat :
“….dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir,” (QS. Yusuf: 87).
“Berkata Ibrahim, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya kecuali orang-orang yang sesat,” (QS. Al-Hijr: 56).
Dari keterangan nash-nash Al-Qur’an ini, menjadi jelaslah bahwa keputusasaan bisa mengakibatkan kepada kekafiran dan membawa kepada kesesatan. Berdasarkan uraian keterangan di atas, maka tidak bagi seorang muslim berputus asa dalam dienullah dan Kitabnya yang kekal. Oleh kerena putus asa pada hakekatnya adalah pembunuh (semangat) para lelaki, perwira, penakluk para kstria, peluruh tekad, penghancur cita-cita dan penggoncang bangsa. Maka hendaknya para pemuda bersikap waspada sepenuhnya terhadap sikap pandang pesimistis yang membinasakan, yang mengatakan, “Telah berakhir segala sesuatunya dan kita lemah. Tetaplah duduk di rumahmu. Perhatikan dirimu sendiri. Tinggalkanlah perkara orang banyak. Tidak ada manfaat sedikitpun jihad dan amal islami.”
Dan pandangan-pandangan pesimis serta kata-kata melemahkan lainnya yang meluruhkan perjuangan kita, dan mematikan semangat dakwah dan jihad di jalan Allah. Al-Qur’anul Karim menamai golongan yang berputus asa dan membuat orang lain berputus asa dengan sebutan, “Al-Mu’awwiqun Al-Mutsabbitun.
Allah befirman: “ Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang- halangi di antara kamu dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya: "Marilah kepada kami". Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar. Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah,” (QS. Al-Ahzab: 18-19).
Dari ayat yang telah disebutkan, maka Nampak jelaslah bahwa keputus asaan dan melemahkan semangat termasuk tabi’at nifak dan ciri-ciri kaum munafiq. Jadi seorang muslim yang benar dan mukhlis akan selalu menjaga dirinya jangan sampai memiliki sifat kufur dan nifak, atau senantiasa waspada jangan sampai terjerumus dalam jurang putus asa dan lemah semangat.
Allâh Ta'ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat.
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup bagimu”(QS. al-Anfâl/8:24).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya didapatkan dengan memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Maka, barang siapa tidak memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik) meskipun fisiknya hidup, sebagaimana binatang yang paling hina. Jadi, kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang dengan memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam secara lahir maupun batin”.
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)”(QS. Hûd/11:3).
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:
“Dalam ayat-ayat ini Allâh Ta'alamenyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.
Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta'ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâh Ta'ala dalam firman-Nya:
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu”(QS at-Taghâbun/64:11).
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta'ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta'ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta'ala tersebut, maka Allâh Ta'ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta'ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”
Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allâh Ta'ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta'ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:
"Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta'ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut".
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).
Sungguh Allâh Ta'ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya:
”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan”(QS. an-Nisâ/4:104).
Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta'ala. Bila kondisi hari ini masih seperti kemarin di mana harapan belum menjelma menjadi nyata. Tetaplah tersenyum. Bukan berarti Allah mengabaikan doa-doa kita. Kita tahu, Allah adalah Dzat Yang Maha Mengabulkan doa-doa hamba-Nya.
“Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya…” (QS. Al mu'min:60).
Tak ada yang dapat meragukan janji-Nya. Doa kepada-Nya ibarat sebuah investasi. Tak akan pernah membuat investornya merugi. Karena penjaminnya adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dzat Yang Maha Welas Asih itu, tak akan pernah ingkar janji. Tidak akan sia-sia munajat yang kita mohonkan pada-Nya, baik di waktu siang apalagi di sepertiga malam. Ketika lebih banyak makhluk-Nya pulas, dalam dekapan dinginnya malam dan hangatnya selimut tebal.
Bila belum ada perubahan berarti tentang rencana-rencana kita, tetaplah tersenyum. Allah lebih mengetahui apa-apa yang baik untuk kita. Yakinlah, bahwa:
“Sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah pasti akan datang, maka janganlah kalian minta untuk disegerakan.” (QS. An Nahl:1).
Allah Maha Mengetahui kapan sesuatu pas untuk kita, baik dalam sisi timing maupun momentnya. Allah, Pencipta alam raya ini, adalah sutradara hebat, yang tidak akan membiarkan kita terpuruk dalam keburukan. Selama kita yakin akan kekuasaan-Nya, yakin akan kasih sayang-Nya.
Jika semua serasa mandeg, tak ada kemajuan berarti. Tetaplah juga tersenyum. Allah punya cara sendiri untuk membuat kita senantiasa dekat dengan-Nya. Mungkin, semua ini dibuat-Nya untuk kita agar kita senantiasa hanyut dalam sujud-sujud panjang di penghujung malam. Senantiasa larut dalam tangis penuh harap, dalam buaian doa-doa panjang nan khuyuk.
Semua tak akan tersia-sia begitu saja. Allah, mencatat setiap upaya yang kita lakukan dan doa yang kita panjatkan. Segala sesuatu yang kita perbuat, sekecil apa pun itu, akan menuai balasan di sisi-Nya kelak. Niatkan semuanya hanya untuk meraih ridha-Nya, agar perjuangan hebat ini tak hanya bermakna sementara. InsyaAllah kita akan memetik buahnya kelak, di waktu yang telah Ia tentukan.
Dunia ini fana. Tak ada yang kekal didalamnya. Pun perjuangan ini, pengorbanan ini, juga kesulitan ini. InsyaAllah, suatu hari nanti, harapan akan berbuah kebahagiaan. Akan menjelma menjadi kemudahan. Karena, sekali lagi, Allah telah menjamin:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5-6)
“Allah pasti akan memberikan kemenangan atau mengadakan keputusan yang lain dari sisi-Nya.” (QS. Al Maidah:52)
Tetaplah berbaik sangka kepada-Nya. Tetaplah berharap sepenuh hati kepada-Nya. Tetaplah gantungkan asa setinggi apa pun itu, hanya kepada-Nya. Sekali lagi, hanya kepada-Nya.
“Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al A'raf: 56).
Dan, jika akhirnya harapan tidak menjelma seperti yang kita idamkan, tetaplah terus berbaik sangka kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui. Karena,
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah: 216).
”…Siapakah yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al Fath:11].
”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al Baqarah:155-157].
HIKMAH COBAAN
Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta'ala jadikan dalam setiap ketentuan yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allâh Ta'ala.
Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allâh Ta'ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.
Dengan sikap ini, Allâh Ta'ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allâh Ta'ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi yang artinya:
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”.
Maknanya: Allâh Ta'ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allâh Ta'ala.
Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:
Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allâh Ta'ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta'ala
Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allâh Ta'alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang.
Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh Ta'ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta'ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.
VIVAnews - Acara sepeda santai yang digelar 'Critical Mass' di Porto Alegre, Brasil, pada penghujung Februari 2011 kemarin, berubah jadi tragedi.
Puluhan pesepeda bergelimpangan di jalan akibat ulah pengendara mobil, Ricardo Jose Neis.
Saat itu sekitar 130 pesepeda tengah melintas di jalan raya. Mereka baru saja memulai aktivitas ramah lingkungan sesuai misi Critical Mass.
Saat tengah asyik bersepeda, tiba-tiba saja Neis yang mengendarai mobil VW-nya menerjang mereka dari belakang dengan kecepatan tinggi.
Puluhan pesepeda bergelimpangan di jalan akibat ulah pengendara mobil, Ricardo Jose Neis.
Sekitar 20 pesepeda jadi korban. Mereka terpental, bergelimpangan di jalan. Bahkan tidak sedikit di antara mereka tersangkut di kap mobil Neis berikut sepedanya. Para korban mengalami luka ringan maupun berat. Jerit tangis dan teriakan langsung membahana di jalan. Neis pun diamankan polisi.
Sekadar diketahui Critical Mass adalah sebuah acara bersepeda yang biasanya digelar pada hari Jumat terakhir setiap bulan, di lebih dari 300 kota di seluruh dunia.